Monday, January 28, 2013

Curtain: A Brief Analysis

Peringatan!
Ini adalah sekilas analisis tentang kasus terakhir Poirot dalam novel Tirai.
Karenanya akan ada banyak sekali spoiler. Kalau belum membaca, dan ada niat untuk membaca Tirai, harap BERHENTI DI SINI.

***

Inilah salah satu novel Agatha Christie favorit saya.

Tirai (Curtain) pertama kali diterbitkan pada tahun 1975, setelah dikunci dalam brankas bank selama lebih dari 30 tahun. Agatha Christie sendiri menulis novel tersebut pada 1940-an, di masa Perang Dunia II. Setelah novel terakhir yang ditulisnya Gerbang Nasib (Postern of Fate) terbit, merasa tak sanggup lagi menulis, Christie - di usianya yang sudah tua - memperbolehkan Tirai untuk diterbitkan.

Begitu unik kisah di balik Tirai, maka isinya lebih unik lagi. Inilah kasus penghabisan bagi seorang Hercule Poirot yang untuk terakhir kalinya dilaluinya bersama rekan tercintanya Kapten Arthur Hastings.
Ini, Hastings, akan merupakan perkaraku yang terakhir. Dan juga akan merupakan perkaraku yang paling menarik - dan karenanya penjahatnya pun demikian pula. ~ Poirot, hal. 209

Berkisah tentang Hastings yang dipanggil oleh Poirot untuk membantunya memecahkan satu kasus yang melibatkan seorang pembunuh berantai yang berbahaya. Poirot sudah tahu siapa pembunuh tersebut - yang kemudian di sepanjang novel diberi nama X - dan tahu cara kerja si pembunuh. Namun, karena Poirot menganggap Hastings adalah orang yang terlalu polos, mudah dibaca, ia menyembunyikan identitas X dari Hastings.

Maka pembaca, melalui sudut pandang Hastings, diajak untuk pasang mata dan telinga, mencoba menebak siapa X, siapa targetnya, dan bagaimana caranya melakukan pembunuhan.

Dari sini Christie menebarkan satu demi satu petunjuk, yang kesemuanya memang mengarah pada satu orang; Norton. Dan bagaimana ia membunuh? Dengan senjata paling berbahaya yang tidak terduga-duga yaitu lidahnya.

Ketika percobaan pembunuhan pertama dilakukan, pembaca bisa merasakan tekanan psikologis yang diciptakan Norton pada Kolonel Luttrell, yang membuatnya secara emosional mengangkat senapan dan menembak istrinya sendiri - yang menurut pengakuannya ia kira kelinci.
Norton tertawa. "Kawin dan menjalani kehidupan rumah tangga yang rutin? Dan seandainya dia jadi bulan-bulanan isterinya..." ~ hal. 120
Kelihaian Norton bahkan membuat Hastings gelap mata hingga nyaris membunuh Allerton. Gagal, Norton pun terus mencoba, hingga Barbara Franklin tewas.
Seseorang yang pernah membunuh, akan membunuh lagi - lagi, dan lagi, dan lagi ~ Poirot, hal. 135

Namun, ada sedikit keanehan pada kasus tewasnya Barbara Franklin. Tidak terlihat campur tangan Norton di sana. Poirot dalam surat yang ditinggalkannya menjelaskan bagaimana Norton mencobakan tekniknya pada Dr. Franklin dan Judith, yang juga pembaca saksikan pada topik-topik yang coba diangkat Norton untuk memancing keduanya melakukan pembunuhan. Akan tetapi saya tidak ingat ada interaksi antara Ny. Franklin dan Norton yang membuat wanita itu bertekad membunuh suaminya - yang kemudian justru membunuh dirinya sendiri.

Di sisi lain, Norton mempersiapkan skenario "melihat sesuatu melalui teropongnya" beberapa saat sebelum kematian Barbara yang kemudian hendak dipakainya untuk menciptakan keraguan akan kasus "bunuh diri Ny. Franklin". Pada titik ini, entah Norton merasa yakin salah satu dari pendekatannya berhasil, atau ia memang hanya mempersiapkan saja kalau-kalau ada pembunuhan.

Sejak awal, pernikahan Dr dan Ny. Franklin merupakan ladang potensial bagi upaya Norton. Namun saya tidak melihat Norton mencoba menyerang dari segala arah. Selain tidak nyata interaksinya dengan Ny. Franklin, juga tak tampak ia meracuni pikiran Boyd Carrington. Padahal ia juga target yang cukup baik mengingat ia masih mencintai Barbara, yang mungkin bisa "dibujuk" untuk membunuh Dr. Franklin. Meski begitu, dengan lihai Norton memanfaatkan Boyd Carrington dalam kasus penembakan Ny. Luttrell.

Ketika petunjuk berupa naskah drama Shakespare Othello dihidangkan kepada pembaca, mungkin mereka yang sudah pernah membaca Othello akan langsung memahaminya. Sayangnya, ketika pertama kali membaca Tirai, saya belum berkenalan dengan satupun karya Shakespeare. Baru di kesempatan kedua saya membaca Othello lebih dulu sebelum membaca ulang Tirai.

Norton adalah Iago, yang dengan sangat mahir mampu mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, menyerang titik lemah dengan sangat tepat pula, hingga menghasilkan aksi yang diharapkan; pembunuhan. Bahkan trik Norton yang sengaja membiarkan Hastings salah paham tentang Allerton dan Judith, lalu ketika Hastings mengira Allerton sedang membujuk Judith pergi ke London, sejalan dengan trik tipuan Iago ketika menyuruh Othello bersembunyi dan menguping pembicaraannya dengan Cassio.

Seperti Iago yang motifnya untuk menghancurkan Othello juga dipertanyakan (sekali ia bilang karena kesal Othello mengangkat jabatan Cassio dan bukan dirinya, di lain waktu ia menganggap Othello pernah tidur dengan istrinya), Norton bahkan secara menarik diciptakan Christie sebagai sosok yang nyata mengerikan; tak punya motif sama sekali selain hanya sekedar ingin melihat pembunuhan.

Shakespeare "memaksa" Iago bertindak dengan tangannya sendiri menusuk Emilia secara terang-terangan di depan semua orang, untuk memperjelas fakta tentang kejahatan dan kelicikannya. Christie tidak melakukan hal serupa pada Norton. Tak pernah Norton menodai tangannya sendiri, sehingga tak akan pernah ada cukup bukti untuk membawanya ke pengadilan. Christie memberi kejutan kepada pecinta Poirot dengan membiarkan detektif itu menghakimi Norton dengan tangannya sendiri. Itu adalah sebuah keputusan yang pembenarannya kemudian diragukan oleh Poirot sendiri.
Dalam keadaan darurat, hukum perang berlaku. Dengan mengambil nyawa Norton, aku sudah menyelamatkan hidup orang-orang lain - hidup orang -orang yang tak berdosa. Tapi aku tetap tidak tahu - barangkali ada baiknya aku tidak tahu. Selama ini aku selalu yakin - terlalu yakin... Tapi sekarang dengan rendah hati aku berkata seperti anak kecil "Aku tidak tahu". ~ Poirot, hal. 282

Keraguan mungkin dengan sengaja diselipkan oleh Christie untuk mencegah pembenaran mutlak terhadap unsur "main hakim sendiri" yang dilakukan Poirot.

Satu saja hal yang janggal sehubungan dengan Poirot yang mengibaratkan Norton dengan Iago dalam Othello, yaitu ketika Poirot berkata;
Iago merupakan pembunuh yang sempurna itu. Kematian Desdemona, kematian Casio, dan bahkan kematian Othello sendiri - semuanya merupakan hasil perbuatan Iago, yang direncanakan olehnya, dan dilaksanakan olehnya juga ~ Poirot, hal. 256

Mau tak mau saya mengeryitkan kening membaca kalimat tersebut, sebab saya cukup yakin bahwa Cassio tidak mati dalam kisah Othello. Yah, tampaknya, bahkan detektif sekaliber Hercule Poirot pun bisa melakukan kesalahan referensi.

Othello bukanlah satu-satunya drama yang disinggung Christie dalam Tirai, seolah hendak menyampaikan hubungan erat antara panggung drama dan panggung kisah Poirot.

Cover first UK edition | Sumber

Kata "tirai" muncul dalam kalimat yang diucapkan Poirot "Turunkan saja tirainya!" sangat lekat dengan terminologi dalam drama yang bermakna pertunjukan telah usai. Sebuah akhir.

Sejalan dengan itu, Tirai sebagai kasus terakhir Hercule Poirot terasa begitu final dan sekaligus juga nostalgic. Setting di Styles, yang merupakan tempat kasus pertama Poirot dan Hastings. Rasa nostalgi dihadirkan sejak awal dan dipertahankan di sepanjang kisah.
Siapa orangnya yang tidak merasa terkejut campur haru sewaktu dipertemukan kembali degan kenangan lama yang menghimbau dan menyentuh perasaan? ~ Hastings, hal. 5
Hastings banyak melakukan kilas balik ke kasus pertama di Styles ini | Sumber
Saya pertama kali membaca Tirai kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Dan karena saya membaca ulang dari buku yang sama, aroma masa lalu mau tak mau saya sesapi juga.

Dan ketika tirai benar-benar menutup diiringi kalimat terakhir Poirot, mau tak mau saya - dan mungkin juga semua yang pernah membaca Tirai - menitikkan air mata...
Kita tidak akan berburu berdua lagi, Sobatku. Perburuan kita yang pertama di tempat ini - dan yang terakhir - Masa-masa yang indah. Ya, masa-masa yang indah ~ Poirot, hal. 283
 *

Tetapi, bagi saya kini, membaca ulang Tirai justru merupakan awal. Awal bagi keinginan untuk membaca kembali kisah-kisah karya Agatha Christie (yang toh masih banyak juga yang belum saya baca), ditambah dengan diterbitkannya lagi novel-novel Christie dengan cover baru.

Beberapa novel Christie dalam parade cover baru terbitan GPU, pengeenn!!

Jadi, naikkan kembali tirainya dan nikmati lagi kasus-kasusnya!

***

Dibuat untuk meramaikan event The Labours of Grey Cells, yang diadakan oleh blog Sel-Sel Kelabu.

Berdasarkan novel Tirai karya Agatha Christie, penerbit GPU, cetakan ke-9 tahun 1996.

3 comments:

  1. cover barunya imut2 semua tapi jadi hilang kesan angkernya...hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi tapi tetep pengeen unyuuu2 bgt >_<
      Penasaran Tirai cover baru bakal kaya apa yaa

      Delete
  2. udah lama banget nggak baca tirai nih =D btw aku lagi ngumpulin cover versi baru nya nih mba, hahaha...lucu2 soalnya warna nya =)

    ReplyDelete