Tuesday, July 9, 2013

Sketsa Terakhir


Judul: Sketsa Terakhir
Penulis: Kei Larasati & Vanny PN
Penyunting: Clara Ng
Penerbit: Plotpoint
ISBN: 9786029481372
Jumlah halaman: 228
Format: paperback
Edisi: 1, Juni 2013

“Oke. Begini. Apabila masa hidupmu hanya tersisa tiga hari, apa yang akan kau lakukan selama itu?”

Tio Ananta mengidap leukemia.

Sebagai tunangan gadis bernama Drupadi (Dru), Tio masih memendam cinta lama pada Renata (Rena) yang kini tinggal di London. Dahulu mereka bertiga adalah teman kuliah. Tio selalu menyukai Rena, dan Dru selalu memandang Tio. Sedang Rena? Dia lebih suka menikmati bergonta-ganti teman pria.

Beda antara cinta dan kebodohan memang tipis. Sudah tahu bahwa kehadirannya sebenarnya tidak diharapkan, Dru masih saja ada untuk Tio, masih tetap mengemis perhatian.

Bangun segi tiga itu menemukan bentuk sempurnanya seiring dengan Tio yang berusaha hidup bersisian dengan leukemia. Penyakit yang hanya memberinya sisa waktu 2-5 tahun itu jugalah yang justru mengantarkannya pada cinta sejatinya.

Lalu ada Martin, rekan kerja Tio, yang diam di pinggir menelan rasa yang dimilikinya pada Dru.

Cerita dibuka dengan adegan seorang wanita tua di rumah sakit

Pikiran itu hal yang menyebalkan. Kita bisa tidak mengucapkan sesuatu. Kita bisa menutup telinga dari sesuatu. Tapi kita tidak pernah bisa berhenti memikirkan sesuatu.

*

Ada macam-macam cerita; ada yang unik dengan ide baru yang menggelitik. Ada pula yang sederhana tanpa banyak intrik. Sketsa Terakhir masuk dalam jenis yang kedua. Namun sebuah kisah yang simple dan clean seperti ini memiliki tantangannya sendiri. Bagi saya, sebuah cerita yang sederhana akan menarik perhatian pembaca sepenuhnya pada karakter. Akhirnya, saya akan merangkum kesan terhadap keseluruhan cerita dari sejauh apa saya merasa terlibat dan dekat dengan para karakternya. Dalam hal ini, Sketsa Terakhir berhasil membuat saya mencintai karakter-karakter(pria)-nya *uhuk XD

Saya lemah pada karakter pria dengan deskripsi "rambut acak-acakan dengan poni hampir menutupi mata" aiihh *melunglai di bahu Tio. Momen terdekat saya dengan Tio adalah ketika dia menangis di shower.. Semua yang pernah sakit rasanya pernah mengalami menangis putus asa di kamar mandi, saya pernah (loh apa deh curcol di tengah ripiu). Karenanya, adegan yang hanya satu paragraf itu mengiris banget.

Ketika cerita polos ga neko-neko, yang tertinggal adalah narasi yang mengantarkan kita pada pemahaman akan perasaan, pilihan dan keputusan tiap karakter. As for this, this book is almost there. Andai diperdalam dan diperkuat lagi. Masing-masing karakter juga masih bisa di-stretch dan digali juust a little deeper.

Ada beberapa bagian narasi yang sebenarnya menarik dan bikin saya ngikik geli, tapi sedikit agak miss. Yaitu pada beberapa kesempatan flashback ke masa-masa Tio-Dru-Rena kuliah. Gaya bahasa mereka saat itu lebih mirip gaya kita saat ini (meski bisa jadi Tio 32 tahun ada di masa depan dan Tio kuliah adalah masa kini). Yah, saya sih ga inget-inget banget gimana dulu gaya ngomong saya ketika jaman kuliah, tapi mungkin menarik kalau penulis memberi sentuhan oldies yang lebih mengakrabkan pembaca dengan masa-masa itu. (Lagian, saya dan Tio agak-agak seumur, sama-sama kuliah di Bandung pulak, heran deh kenapa dulu kita ga ketemu *hidih ini si tukang resensi malah numpang curhat lagi)

Rasanya sih romansa ini masih bisa lebih halus dan dalam lagi.. supaya durasi dan kuantitas meweknya lebih banyak gitu *sesenggukan, srosot ingus* Juga sedemikian agar meski jalannya cerita halus dan bersih, tapi tidak menjadi terlalu "rapi", mm.. how to put it.. I think a little less neat would have made it more alive. But overall it’s a nice debut. Bravo, Kei & Vanny! Ditunggu novel-novel selanjutnya! (/^_^)/

Hm.. tampaknya khusus untuk kali ini saya ga nyuguhin kopi, 3 1/2 cangkir teh mint buat Tio!