Thursday, January 31, 2013

William Shakespeare's Romeo + Juliet

Immediately after reading Romeo and Juliet I watched two movie-adaptations; the 1996 one and 1968. Well, I must say I like the 1996 better.

Source

Romeo + Juliet (1996) is a modernization of Shakespeare's Romeo and Juliet, directed by Baz Luhrmann. Though it's set in modern day, the dialogues are still true to the play.

Some changes in dialogues are made. For example in the first brawl scene, the play first take the Capulet boys' point of view ("Here comes two of the house of the Montagues"), while in the movie we see it from the Montagues' point of view thus it says "Here comes (two) of the house of the Capulets". Some changes in sequence are also made, but overall the dialogues are very much the exact words written on the play.

"Good morrow cousin!" - Benvolio (Dash Mihok)

It is also interesting how we get to see Lord and Lady of the the houses have first names. And, the Swords!

Tybalt (John Leguizamo) with one of his (gun)swords

Old poetic English doesn't seem to weigh the movie, it feels pretty natural. I also like how the movie doesn't lose the beauty of "exaggeration" which is always shown in a play. Like the way Tybalt moves with his double swords; it is smooth, exaggeratedly entertaining to watch. Or how Mercutio plays his part.

"A plague o' both your houses!" - Mercutio (Harold Perrineau)

The scenes involving Romeo and Juliet are sweet, and having a prior understanding of how they're going to end, it's painfully heart-breaking. The "Kissing You" scene is definitely my favorite.

Romeo (Leonardo DiCaprio) and Juliet (Claire Danes) in aquarium scene
Kissing You - love theme song by Des'ree

Towards the end, another substantial change is again made. We won't see Romeo and Paris fighting, thus no Paris' body on the death scene. I personally like it this way, so that it's focused on Romeo and Juliet.


The movie became box office and won several awards, including Danes and DiCaprio for Best Female and Male Performance in 1997 MTV Movie Awards, Best Adapted Screenplay (51st BAFTA Film Awards), and some other more. Also nominated Best Art Direction/Set Decoration at 69th Academy Awards.

All in all, I love this movie. I didn't understand any of the dialogues at my first attempt to watch it due to  Shakespeare's choice of words >_< so yeah it is better to read the play first before watching. But once I grasp the story and understand the lines, I can never get tired of it.. :D

Harry Potter dan Batu Bertuah: Hogwarts Revisited Part 1

Mulai Januari hingga Juli nanti, saya membaca ulang ketujuh buku Harry Potter bersama para blogger lain yang berpartisipasi dalam event Hotter Potter-nya Melisa. Awalnya saya ingin membaca edisi berbahasa Inggris semua untuk menikmati pengalaman yang agak berbeda, tetapi akhirnya saya membaca edisi yang saya punya saja. Dan itu artinya, akan ada beberapa buku edisi Indonesia, beberapa lagi edisi Inggris :p

Mari mulai dengan buku pertama; Harry Potter dan Batu Bertuah.


Harry Potter anak yang malang. Yatim piatu, tinggal di lemari bawah tangga, dijahati sepupunya - Dudley - yang gendut, diomeli paman dan bibinya - Vernon dan Petunia Dursley. Namun keanehan demi keanehan sering terjadi dalam kehidupannya. Seperti ketika ia digunduli oleh bibinya, tiba-tiba esoknya rambutnya sudha tumbuh lagi. Lalu ketika pergi ke kebun binatang di hari ultah Dudley, ia malah bisa bicara dengan ular boa!

Kehidupan Harry segera berubah ketika surat dari sekolah sihir Hogwarts tiba. Iapun kini tahu bahwa ia adalah penyihir, lahir dari orang tua penyihir pula - James dan Lily Potter. Bahwa mereka meninggal karena dibunuh oleh penyihir jahat bernama Voldemort. Dan bahwa Harry secara ajaib selamat dari kutukan Voldemort, dan bahkan membuat penyihir yang-namanya-tak-boleh-disebut itu menghilang. Dengan kata lain, Harry Potter ternyata terkenal sekali!
"Ah, ya. Harry Potter. Selebriti baru kita." ~ Snape, hal. 170

Maka dimulailah hari-hari seorang Harry di Hogwarts. Punya teman-teman baru; ada Ron si rambut merah, Hermione anak perempuan yang pintar sekali sampai kadang nyebelin, Neville yang kikuk. Juga ada musuh-musuh baru pengganti Dudley; Draco Malfoy dan 2 pengikutnya. Dan tentu saja, petualangan seru yang tak akan didapatnya di rumah keluarga Dursley.

*

"Perlu banyak keberanian untuk menghadapi lawan, tetapi diperlukan keberanian yang sama banyaknya untuk menghadapi kawan-kawan kita." ~ Dumbledore, hal. 378

Ketika dulu pertama kali membaca Harry Potter, serta merta saya teringat pada serial Malory Towers Enid Blyton. Naik kereta ke sekolah, 4 asrama, persaingan antar asrama, olah raga yang khas, guru yang menyebalkan, murid badung yang suka bersiasat... Dengan kata lain, Harry Potter sebenarnya mengikuti pola kisah sekolah berasrama Inggris yang sudah umum ada. Namun dengan cerdasnya J.K. Rowling memberi unsur yang membuat semuanya jadi berbeda; sihir. Dari sana, plotnya pun semakin menguat dan rumit.

Bagian yang mengharukan bagi saya adalah ketika Harry, yang untuk pertama kalinya mempunyai uang dan dalam jumlah cukup banyak, membagi penganannya dengan Ron.
"Ayo, pastel ini untukmu," kata Harry, yang belum pernah memiliki sesuatu untuk dibagikan atau, malahan, orang lain yang bisa diajak berbagi. ~ hal. 128

Salah satu bagian penting dalam kehidupan Harry Potter di sekolah adalah ketika ia menjalani tes masuk asrama yang dilakukan oleh Topi Seleksi. Topi Seleksi dikisahkan mampu melihat potensi dalam diri setiap anak untuk kemudian menempatkan setiap anak ke asrama yang tepat. Sebelum melakukan seleksi, Topi Seleksi menyanyi yang isinya menceritakan tentang asrama-asrama dan penghuninya.

Topi Seleksi | Sumber

Di sini saya merasa si Topi ini prejudice sekali. Dengan jelas ia menjelekkan Slytherin, dan menyatakan anak-anak di sana sebagai "licik", sesuatu yang agak kurang bijaksana menurut saya. Anak-anak belum apa-apa sudah dilabeli "licik", hingga memberi kesan mereka yang terpilih masuk Slytherin "pasti ga beres". Sesuatu yang mempengaruhi mereka dalam pergaulan antar asrama (meski memang itu sih tujuannya biar seru ceritanya :p) Sekalipun benar, sekolah macam apa yang membiarkan murid-muridnya tumbuh menjadi anak-anak yang seperti itu?

Buku pertama ini simpel dan fun. Cocok untuk bacaan anak-anak sebaya Harry, 10-11 tahun, karena kisahnya yang khas sekolah. Yang jelas, Harry Potter dan Batu Bertuah membuat setiap pembaca pasti ingin buru-buru membaca kelanjutannya, bahkan meskipun ia sudah membaca untuk kesekian kalinya.

Judul: Harry Potter dan Batu Bertuah
Judul asli: Harry Potter and The Sorcerer's Stone
Penulis: J.K. Rowling
Penerbit: GPU
Penerjemah: Listiana Srisanti
Cetakan: 12, Februari 2002
ISBN: 979-655-851-3
Format: Softcover
Halaman: 384




*
Fun quiz!
Nah, yang merasa udah baca Harry Potter dan Batu Bertuah berkali-kali, yang udah hapal mati setiap kalimatnya, coba dites dulu. Yang nilainya 100 dapet Cokelat Kodok!

1. Apa warna jubah yang dikenakan Dumbledore & McGonagall ketika bertemu di Privet Drive?
2. Apa permen Muggle kesukaan Dumbledore?
3. Dari mana asal ular yang berbicara dengan Harry di kebun binatang?
4. Kue apa yang diberikan Hagrid sebagai hadiah ultah Harry, dan terbuat dari apa tulisan 'Selamat Ulang Tahun'nya?
5. Apa nama toko burung hantu di Diagon Alley?
6. Apa jenis tongkat Harry, berapa ukurannya, dan berapa harganya?
7. Berapa selisih panjang (dalam senti) tongkat Voldemort dan Harry?
8. Tanggal berapa tahun ajaran baru dimulai?
9. Mata pelajaran apa yang gurunya hantu, dan siapa nama gurunya?
10. Apa yang kaudapat jika menambahkan bubuk akar asphodel ke cairan wormwood?

Kunci jawaban ada di bawah button-button reading event berikut...


*
Dibuat untuk event:



Yang tadi udah coba jawab pertanyaan di atas, sila cocokin jawabannya:

1. Dumbledore: ungu, McGonagall: hijau zamrud
2. Permen jeruk
3. Brasil
4. Kue coklat, hiasan dari gula hijau
5. Eeylops
6. Holly dengan bulu phoenix, 27 1/2 senti, 7 galleon emas
7. 33 1/2 - 27 1/2 = 6 senti
8. 1 September
9. Sejarah Sihir, Prof. Binns
10. Obat tidur

Yak yang dapet nilai 100 ngacuuung! *sebar-sebar Cokelat Kodok

Ayahku (Bukan) Pembohong: Special SS Review

Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya mendapat buku Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye ini dari Secret Santa. Ini adalah buku Tere-Liye ke-6 yang saya baca. Saking semangatnya saya membaca buku ini, sampe dibawa-bawa liburan tahun baru looh :D

Si buku ikut piknik

Sekarang saatnya review!

Ayah Dam pandai bercerita. Kisah-kisahnya selalu memikat, memicu semangat Dam kecil. Ketika ia kesal karena dijuluki si Keriting (Pengecut), hatinya yang ciut membesar kembali berkat kisah Ayah tentang masa kecil El Capitano - kapten tim bola kesayangannya - yang ternyata semasa kecilnya juga dipanggil begitu.

Tak hanya kisah Sang Kapten, ada juga kisah tentang Lembah Bukhara, Suku Penguasa Angin yang merupakan bangsa pengendara layang-layang, si Raja Tidur, dan lain-lain. Besar dengan kisah-kisah ajaib Ayah, Dam tumbuh menjadi anak yang pandai, pantang menyerah dan berbakti pada orang tua. Hingga suatu ketika ia menemukan buku-buku cerita tua di perpustakaan Akademi Gajah - tempatnya bersekolah - yang isinya sama persis dengan kisah-kisah ajaib yang pernah dituturkan Ayah. Mungkinkah Ayah hanya mengambil cerita dari buku-buku itu? Apakah Ayah pembohong?

Tak pernah sekalipun Dam mendapatkan kepastian mengenai kebenaran cerita-cerita Ayah. Puncak kebencian dan ketidakpecayaan Dam pada Ayah terjadi ketika Ibu sakit, dan semakin parah.

Setelah dewasa, Dam yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, menolak keras hobi Ayah untuk bercerita. Ia tak mau anak-anaknya "diracuni" oleh kisah-kisah bohong kakek mereka. Di titik itu, pertentangan ayah-anak itu makin meruncing saja.

Tentu saja, buku-buku Tere-Liye biasanya selalu jadi pemicu banjir air mata. Tak terkecuali Ayahku (Bukan) Pembohong. Karena bercerita tentang sosok ayah, beberapa kali saya sempet mewek karena teringat almarhum ayah yang pergi beberapa bulan lalu. Apalagi di bagian ini;
"Kau seharusnya lebih sering memeluk ayah kau, Dam. Kau tahu, sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah mau memeluk ayah mereka sendiri setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya." ~ Taani, hal. 256

Hikz.. :((

Meski sangat menyentuh di bagian tersebut, secara keseluruhan saya merasa buku ini agak lemah.

Sosok Ayah yang merupakan pegawai jujur, hobi bercerita kisah-kisah yang sangat ajaib dengan niat suci membangun karakter anak, tapi di sisi lain sangat otoriter; memaksa anaknya percaya begitu saja, tak boleh banyak bertanya. Ayah tidak bohong, titik. Sebagai ayah yang yakin dirinya bijaksana justru dengan aneh membungkam keingintahuan anak. Seakan-akan kisah Ayah selayaknya kisah dalam kitab suci yang tak boleh dipertanyakan dan harus ditelan mentah-mentah (bahkan kitab suci saja harus dikaji, kenapa cerita Ayah tak boleh?).

Ayah juga sosok yang lembek, tidak sewajarnya seorang pria yang istrinya sakit, menyerah hanya karena seorang dokter luar biasa hebat mengatakan tak ada gunanya mencari pengobatan lagi. Tampaknya dokter super itu semacam Tuhan saja yang kata-katanya pasti benar. Saya jadi ikut emosi bareng Dam >,<

Hal lain, saya maklumi bahwa buku-buku Tere-Liye yang diterbitkan oleh penerbit GPU memang lebih beraliran populer, dan tak mau menempelkan identitas agama apapun pada karakter-karakternya, mungkin untuk merengkuh lebih banyak pembaca. Tapi pada satu titik saya merasa sepertinya karakter-karakter dalam buku ini dipaksa kabur identitasnya hanya karena pengarang enggan menggunakan kata sholat ataupun kerudung/hijab, dan menggantinya dengan "doa pagi di pukul 4" dan "kain penutup kepala" (dan dipikir-pikir, artinya juga belum tentu sholat subuh dan kerudung, entah apalah itu :p). Ritual dan ibadah adalah bagian dari identitas karakter, yang sangat wajar dilakukan satu karakter. Pengaburan identitas karakter semacam ini membuat kisah juga jadi ikut mengawang-awang. Lebih baik tak usah disebutkan saja daripada mengambang tak jelas.

Kembali pada sosok Ayah, endingnya agak dipaksakan. Semua mengarah pada Ayah tidak bohong. Ayah benar. Titik. Habis perkara. Bagi saya, lebih baik kalau si Ayah ini memang berbohong, namun dengan maksud-maksud yang baik, daripada menggantung lalu dipaksakan jadi benar.

Intervensi penulis pada akhir cerita terasa agak berlebihan, kalau tidak mau dikatakan terlalu berlebihan. Sebagai pembaca setia Tere-Liye, saya sudah terbiasa dengan lanturan dan intervensi khas penulis, tapi khusus di buku ini rasanya sangat tidak alami. Pembaca tidak perlu ditunjukkan nilai-nilai suci dari sebuah buku, biarlah pembaca mencarinya sendiri, menilai sendiri.

Namun dalam kelemahannya, buku ini tetap mampu menggelitik rasa rindu dan kasih kita pada seorang ayah, dan ingin segera mengirimkan pesan singkat "I love you Dad", meski hanya lewat doa...

Satu cangkir kopi untuk menghibur Dam, setengah cangkir untuk menghibur saya yang mewek kangen bapak, dan satu cangkir lagi untuk sang Secret Santa yang telah berbaik hati mengirimkan buku ini untuk menambah koleksi Tere-Liye saya, tengkyuuu :*



Judul: Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis: Tere-Liye
Penerbit: GPU
ISBN: 978-979-22-6905-5
Halaman: 304
Format: Softcover
Cetakan: 6, April 2012







*
Owkee! Sekarang saatnya menebak; siapa gerangan dia sang Secret Santa??

Surat cinta dari secret santa, close-up-nya ada di sini

Setelah melakukan terawangan, mengunjungi semua markas klub liga Inggris yang berjersey merah (untung ga digebukin tuh karena saya pake jersey biru :p) sebelum akhirnya menclok di Emirates Stadium dan konsultasi intensif dengan oom Arsene Wenger >_< saya menebak bahwa SS saya adalaaah...

Nina Ridyananda aka @ninandda16 dari The Bookaddict Diaries

Bener kaaan bener kaaan.. *gelendotan sama Aron Ramsey, ditendang sang SS*

Monday, January 28, 2013

Curtain: A Brief Analysis

Peringatan!
Ini adalah sekilas analisis tentang kasus terakhir Poirot dalam novel Tirai.
Karenanya akan ada banyak sekali spoiler. Kalau belum membaca, dan ada niat untuk membaca Tirai, harap BERHENTI DI SINI.

***

Inilah salah satu novel Agatha Christie favorit saya.

Tirai (Curtain) pertama kali diterbitkan pada tahun 1975, setelah dikunci dalam brankas bank selama lebih dari 30 tahun. Agatha Christie sendiri menulis novel tersebut pada 1940-an, di masa Perang Dunia II. Setelah novel terakhir yang ditulisnya Gerbang Nasib (Postern of Fate) terbit, merasa tak sanggup lagi menulis, Christie - di usianya yang sudah tua - memperbolehkan Tirai untuk diterbitkan.

Begitu unik kisah di balik Tirai, maka isinya lebih unik lagi. Inilah kasus penghabisan bagi seorang Hercule Poirot yang untuk terakhir kalinya dilaluinya bersama rekan tercintanya Kapten Arthur Hastings.
Ini, Hastings, akan merupakan perkaraku yang terakhir. Dan juga akan merupakan perkaraku yang paling menarik - dan karenanya penjahatnya pun demikian pula. ~ Poirot, hal. 209

Berkisah tentang Hastings yang dipanggil oleh Poirot untuk membantunya memecahkan satu kasus yang melibatkan seorang pembunuh berantai yang berbahaya. Poirot sudah tahu siapa pembunuh tersebut - yang kemudian di sepanjang novel diberi nama X - dan tahu cara kerja si pembunuh. Namun, karena Poirot menganggap Hastings adalah orang yang terlalu polos, mudah dibaca, ia menyembunyikan identitas X dari Hastings.

Maka pembaca, melalui sudut pandang Hastings, diajak untuk pasang mata dan telinga, mencoba menebak siapa X, siapa targetnya, dan bagaimana caranya melakukan pembunuhan.

Dari sini Christie menebarkan satu demi satu petunjuk, yang kesemuanya memang mengarah pada satu orang; Norton. Dan bagaimana ia membunuh? Dengan senjata paling berbahaya yang tidak terduga-duga yaitu lidahnya.

Ketika percobaan pembunuhan pertama dilakukan, pembaca bisa merasakan tekanan psikologis yang diciptakan Norton pada Kolonel Luttrell, yang membuatnya secara emosional mengangkat senapan dan menembak istrinya sendiri - yang menurut pengakuannya ia kira kelinci.
Norton tertawa. "Kawin dan menjalani kehidupan rumah tangga yang rutin? Dan seandainya dia jadi bulan-bulanan isterinya..." ~ hal. 120
Kelihaian Norton bahkan membuat Hastings gelap mata hingga nyaris membunuh Allerton. Gagal, Norton pun terus mencoba, hingga Barbara Franklin tewas.
Seseorang yang pernah membunuh, akan membunuh lagi - lagi, dan lagi, dan lagi ~ Poirot, hal. 135

Namun, ada sedikit keanehan pada kasus tewasnya Barbara Franklin. Tidak terlihat campur tangan Norton di sana. Poirot dalam surat yang ditinggalkannya menjelaskan bagaimana Norton mencobakan tekniknya pada Dr. Franklin dan Judith, yang juga pembaca saksikan pada topik-topik yang coba diangkat Norton untuk memancing keduanya melakukan pembunuhan. Akan tetapi saya tidak ingat ada interaksi antara Ny. Franklin dan Norton yang membuat wanita itu bertekad membunuh suaminya - yang kemudian justru membunuh dirinya sendiri.

Di sisi lain, Norton mempersiapkan skenario "melihat sesuatu melalui teropongnya" beberapa saat sebelum kematian Barbara yang kemudian hendak dipakainya untuk menciptakan keraguan akan kasus "bunuh diri Ny. Franklin". Pada titik ini, entah Norton merasa yakin salah satu dari pendekatannya berhasil, atau ia memang hanya mempersiapkan saja kalau-kalau ada pembunuhan.

Sejak awal, pernikahan Dr dan Ny. Franklin merupakan ladang potensial bagi upaya Norton. Namun saya tidak melihat Norton mencoba menyerang dari segala arah. Selain tidak nyata interaksinya dengan Ny. Franklin, juga tak tampak ia meracuni pikiran Boyd Carrington. Padahal ia juga target yang cukup baik mengingat ia masih mencintai Barbara, yang mungkin bisa "dibujuk" untuk membunuh Dr. Franklin. Meski begitu, dengan lihai Norton memanfaatkan Boyd Carrington dalam kasus penembakan Ny. Luttrell.

Ketika petunjuk berupa naskah drama Shakespare Othello dihidangkan kepada pembaca, mungkin mereka yang sudah pernah membaca Othello akan langsung memahaminya. Sayangnya, ketika pertama kali membaca Tirai, saya belum berkenalan dengan satupun karya Shakespeare. Baru di kesempatan kedua saya membaca Othello lebih dulu sebelum membaca ulang Tirai.

Norton adalah Iago, yang dengan sangat mahir mampu mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, menyerang titik lemah dengan sangat tepat pula, hingga menghasilkan aksi yang diharapkan; pembunuhan. Bahkan trik Norton yang sengaja membiarkan Hastings salah paham tentang Allerton dan Judith, lalu ketika Hastings mengira Allerton sedang membujuk Judith pergi ke London, sejalan dengan trik tipuan Iago ketika menyuruh Othello bersembunyi dan menguping pembicaraannya dengan Cassio.

Seperti Iago yang motifnya untuk menghancurkan Othello juga dipertanyakan (sekali ia bilang karena kesal Othello mengangkat jabatan Cassio dan bukan dirinya, di lain waktu ia menganggap Othello pernah tidur dengan istrinya), Norton bahkan secara menarik diciptakan Christie sebagai sosok yang nyata mengerikan; tak punya motif sama sekali selain hanya sekedar ingin melihat pembunuhan.

Shakespeare "memaksa" Iago bertindak dengan tangannya sendiri menusuk Emilia secara terang-terangan di depan semua orang, untuk memperjelas fakta tentang kejahatan dan kelicikannya. Christie tidak melakukan hal serupa pada Norton. Tak pernah Norton menodai tangannya sendiri, sehingga tak akan pernah ada cukup bukti untuk membawanya ke pengadilan. Christie memberi kejutan kepada pecinta Poirot dengan membiarkan detektif itu menghakimi Norton dengan tangannya sendiri. Itu adalah sebuah keputusan yang pembenarannya kemudian diragukan oleh Poirot sendiri.
Dalam keadaan darurat, hukum perang berlaku. Dengan mengambil nyawa Norton, aku sudah menyelamatkan hidup orang-orang lain - hidup orang -orang yang tak berdosa. Tapi aku tetap tidak tahu - barangkali ada baiknya aku tidak tahu. Selama ini aku selalu yakin - terlalu yakin... Tapi sekarang dengan rendah hati aku berkata seperti anak kecil "Aku tidak tahu". ~ Poirot, hal. 282

Keraguan mungkin dengan sengaja diselipkan oleh Christie untuk mencegah pembenaran mutlak terhadap unsur "main hakim sendiri" yang dilakukan Poirot.

Satu saja hal yang janggal sehubungan dengan Poirot yang mengibaratkan Norton dengan Iago dalam Othello, yaitu ketika Poirot berkata;
Iago merupakan pembunuh yang sempurna itu. Kematian Desdemona, kematian Casio, dan bahkan kematian Othello sendiri - semuanya merupakan hasil perbuatan Iago, yang direncanakan olehnya, dan dilaksanakan olehnya juga ~ Poirot, hal. 256

Mau tak mau saya mengeryitkan kening membaca kalimat tersebut, sebab saya cukup yakin bahwa Cassio tidak mati dalam kisah Othello. Yah, tampaknya, bahkan detektif sekaliber Hercule Poirot pun bisa melakukan kesalahan referensi.

Othello bukanlah satu-satunya drama yang disinggung Christie dalam Tirai, seolah hendak menyampaikan hubungan erat antara panggung drama dan panggung kisah Poirot.

Cover first UK edition | Sumber

Kata "tirai" muncul dalam kalimat yang diucapkan Poirot "Turunkan saja tirainya!" sangat lekat dengan terminologi dalam drama yang bermakna pertunjukan telah usai. Sebuah akhir.

Sejalan dengan itu, Tirai sebagai kasus terakhir Hercule Poirot terasa begitu final dan sekaligus juga nostalgic. Setting di Styles, yang merupakan tempat kasus pertama Poirot dan Hastings. Rasa nostalgi dihadirkan sejak awal dan dipertahankan di sepanjang kisah.
Siapa orangnya yang tidak merasa terkejut campur haru sewaktu dipertemukan kembali degan kenangan lama yang menghimbau dan menyentuh perasaan? ~ Hastings, hal. 5
Hastings banyak melakukan kilas balik ke kasus pertama di Styles ini | Sumber
Saya pertama kali membaca Tirai kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Dan karena saya membaca ulang dari buku yang sama, aroma masa lalu mau tak mau saya sesapi juga.

Dan ketika tirai benar-benar menutup diiringi kalimat terakhir Poirot, mau tak mau saya - dan mungkin juga semua yang pernah membaca Tirai - menitikkan air mata...
Kita tidak akan berburu berdua lagi, Sobatku. Perburuan kita yang pertama di tempat ini - dan yang terakhir - Masa-masa yang indah. Ya, masa-masa yang indah ~ Poirot, hal. 283
 *

Tetapi, bagi saya kini, membaca ulang Tirai justru merupakan awal. Awal bagi keinginan untuk membaca kembali kisah-kisah karya Agatha Christie (yang toh masih banyak juga yang belum saya baca), ditambah dengan diterbitkannya lagi novel-novel Christie dengan cover baru.

Beberapa novel Christie dalam parade cover baru terbitan GPU, pengeenn!!

Jadi, naikkan kembali tirainya dan nikmati lagi kasus-kasusnya!

***

Dibuat untuk meramaikan event The Labours of Grey Cells, yang diadakan oleh blog Sel-Sel Kelabu.

Berdasarkan novel Tirai karya Agatha Christie, penerbit GPU, cetakan ke-9 tahun 1996.

Tuesday, January 22, 2013

To Kill A Mockingbird

Pernahkah kamu - ketika kecil dulu - terpesona pada sebuah tempat atau rumah, kemudian merangkai-rangkai kisah seram dan misterius tentang tempat/rumah tersebut, yang lama-lama membuatmu terobsesi. Saya pernah. Ketika SD, saya dan teman-teman terobsesi pada toilet di pojok lapangan olah raga; berbagai cerita horor berseliweran, yang akhirnya berujung pada tantangan siapa yang berani mendekati toilet tersebut berarti jagoan. Padahal sih itu cuma toilet lama yang belum direnovasi :p

Agak besar sedikit, karena selalu pulang sekolah jalan kaki, saya bersama dua orang teman sering melewati sebuah rumah yang menarik sekali. Ada sesuatu tentang rumah itu yang entah kenapa terasa membius. Mereka-reka kira-kira seperti apa orang yang tinggal di dalamnya, benar ada orangnya tidak ya, kenapa tamannya tak terawat, dll. Sampai suatu hari saya nekat mendekati pintu pagarnya dan bertengger di sana beberapa detik dan berkata (tepatnya berbisik sih) "Halo!", sebelum kemudian seekor anjing berlari-lari dan hampir menerkam saya >_< LOL

Rupanya, imajinasi kanak-kanak tentang tempat/rumah "misterius" itu bukan monopoli saya dan teman-teman sepermainan dulu. Ini juga dialami bocah-bocah Alabama; Scout Finch dan kakaknya Jem, serta teman mereka Dill. Rumah yang menjadi objek minat mereka adalah Radley Place, yang letaknya tak jauh dari kediaman keluarga Finch.

Dilatarbelakangi berbagai informasi mengenai sejarah penghuninya, diramu dengan imajinasi anak-anak itu, Radley Place dan penghuninya - Arthur "Boo" Radley - menjadi misteri yang selalu menarik hati mereka. Boo Radley yang misterius, yang mendekam di dalam rumah selama 15 tahun... Betapa inginnya mereka melihat orang itu!

Radley Place memesona Dill. Tempat itu menyedotnya seperti bulan menarik air, tetapi ia hanya berani mendekatinya sebatas tiang lampu di tikungan. Di sanalah ia, berdiri, memeluk tiang besar, menatap dan bertanya-tanya.

Salah satu bagian favorit saya, yaitu ketika Dill memeluk tiang lampu sambil memandangi Radley Place, digambarkan dengan apik oleh Carl Thompson dalam poster pertunjukan To Kill A Mockingbird oleh Phoenix Theater.
Sumber

Meski tak pernah benar-benar bertemu dengan Boo, namun beberapa kali Scout dan Jem mendapatkan hadiah-hadiah misterius yang ditinggalkan di sebuah lubang pohon di dekat Radley Place. Dalam beberapa kesempatan, Boo seperti hadir namun tetap tak terlihat.

Sementara itu, ayah Scout dan Jem - Atticus, seorang pengacara - sedang menerima sebuah kasus yang rumit. Seorang pemuda kulit hitam - Tom Robinson - dituduh melakukan perkosaan pada seorang wanita kulit putih, Mayella Ewell, putri Bob Ewell. Atticus percaya bahwa Tom tidak bersalah. Namun pada masa itu, berlaku stigma orang kulit hitam pasti bersalah, tak pantas dibela. Seorang kulit putih membela kulit hitam dalam kasus melawan kulit putih adalah tindakan yang sangat tidak populer. Ini membuat anak-anak Finch sering mendengar ejekan "pecinta negro" dari teman-teman mereka.

Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apapun yang terjadi ~ Atticus

Di sepanjang novel yang dinarasikan dari sudut pandang Scout ini, ia dan Jem dihadapkan pada kejadian-kejadian yang membawa mereka pada perspektif yang lebih luas - bagaimana melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Mereka tak mengerti mengapa Boo tak pernah keluar rumah dan mengapa Atticus selalu mengingatkan mereka agar jangan menganggu Boo. Mengapa Calpurnia berbicara dengan tata bahasa yang berbeda ketika berbicara dengan kulit putih dan kulit hitam. Mengapa mereka harus bersabar dengan ejekan Mrs. Dubose yang menjengkelkan itu. Mengapa Atticus membela Tom Robinson... Mengapa, dan berjuta mengapa lainnya, yang sedikit demi sedikit menemukan jawabannya dan memperkaya jiwa kanak-kanak mereka yang sedang tumbuh.

Ingatlah, membunuh Mockingbird itu dosa ~ Atticus
 Northern Mockingbird, jenis burung penyanyi yang juga bisa dijumpai di Alabama. Mockingbird dalam novel ini merupakan simbol bagi mereka yang kehadirannya tidak mengganggu bahkan kadang bermanfaat dan menyenangkan, sehingga tak sepantasnya diusik.
Sumber

Membaca To Kill A Mockingbird, saya selintas menyadari ada sesuatu tentang 'tempat/rumah misterius' yang lebih dari sekedar rasa tertarik pada 'tempat/rumah'. Rasa tertarik itu rupanya berakar pada 'bagaimana rasanya berada di sana'. Seperti apa rasanya duduk di dalam toilet misterius, apa yang terlintas di pikiran ketika nongkrong di sana? Seperti apa jalanan tampak dari balik jendela rumah itu, dan apa yang penghuninya pikirkan ketika melihat seorang remaja perempuan nangkring di antara jeruji pagarnya? Itulah rupanya yang secara tak sadar ingin saya ketahui ketika kecil dulu. Seperti juga tentang apa kiranya yang dilihat Boo Radley dari dalam Radley Place yang mengurungnya bertahun-tahun, apa yang dirasakannya... melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, hal yang Scout coba pahami.
Kau baru bisa memahami seseorang kalau kau sudah memandang suatu situasi dari sudut pandangnya - kalau kau sudah memasuki kulitnya dan berjalan-jalan di dalamnya ~ Atticus
*
Harper Lee | Sumber
To Kill A Mockingbird ditulis oleh Harper Lee dan pertama diterbitkan di tahun 1960. Tahun berikutnya, novel ini meraih Pulitzer Prize. Meski telah dibantah, namun karena berbagai kesamaan antara Harper Lee dan Scout, novel ini sering disebut sebagai autobiografi penulis. Bergenre bildungsroman, To Kill A Mockingbird dapat dibaca mulai usia 13-14 tahun, dengan guidance dari orang tua atau guru mengingat ada isu rasial dan perkosaan di dalamnya.

Novel ini diadaptasi ke layar lebar pada 1962, dan meraih 3 piala Oscar; Best Actor (Gregory Peck sebagai Atticus Finch), Best Art Direction, dan Best Adapted Screenplay.

Poster film To Kill A Mockingbird | Sumber

4.5 cangkir kopi untuk Atticus, Jem dan Scout, serta Dill dan Boo. Sayang saya tak bisa memberikan yang setengah cangkir lagi untuk menggenapi jadi 5, karena meski terjemahannya bagus, beberapa kali saya mengalami "momen bengong"; yaitu momen dimana saya tak paham kalimat yang disajikan penerjemah (ah mungkin sayanya aja sih yang ga konsen :p).



Judul: To Kill A Mockingbird
Penulis: Harper Lee
Penerbit: Qanita Mizan
Format: Paperback, French flap
Edisi: Gold Edition, Cetakan 1 Oktober 2010
Penerjemah: Femmy Syahrani
Halaman: 533
ISBN: 978-602-8579-34-6


Posting ini dibuat untuk:
- Posting bareng Pulitzer Prize
- Fun Year With Children Literature, tema Classic/Bildungsroman/Award Winner

Wednesday, January 16, 2013

Reading Summary 2012

Setelah di dua tahun sebelumnya saya gagal mencapai target baca tahunan, tahun 2012 kemarin saya akhirnyaa... gagal lagi! ahahah *tawa nelangsa*

Tetapi saya boleh bahagia, karena kegagalan ini adalah kegagalan yang indah *HAH?!* Ya bolehlaah dikatakan indah, mengingat di tahun-tahun sebelumnya saya cuma bisa membaca di kisaran angka 25 buku, sedangkan di tahun 2012 saya bisa menyelesaikan 74 buku (alhamdulillah) *tepok tangannya doong*

Mm.. tapi "menyelesaikan 74 buku" sebenarnya kurang tepat juga; karena dari 74 itu ada 2 buku yang gagal finish, dan karena tidak ada niat untuk melanjutkan membaca maka saya anggap saja selesai. Kedua buku itu adalah Delirium dan Divortiare.

Duo gagal finish >_<

Dan dari "74 buku" itu ada yang;
(1) berupa novela/novelet dan malah short story; Metamorphosis dan The Canterville Ghost. Judul yang ke-2 saya masukkan karena berupa 1 ebook utuh jadi kan itungannya 1 buku :p Dan saya kan ga bilang "74 novel" tapi "74 buku" *ngeles ajaa teruuss*
(2) berupa buku anak, yang tentunya tipis-tipis saja, yaitu buku-buku Roald Dahl. Tercatat 9 buah buku Roald Dahl masuk dalam daftar.

Eniwei, saya sendiri ga segitu seriusnya soal berapa jumlah buku yang dibaca. Saya juga ga bisa terlalu mematok diri harus baca sekian buku, karenanya mulai tahun kemarin sebenarnya saya ga punya target. Akan tetapi di awal bulan November (meski hanya tersisa 2 bulan sebelum akhir tahun), demi mengikuti program BBI Berbagi yang berbasis target baca, saya menetapkan target 80 buku. Dan seperti yang bisa dilihat, target itu pun gagal :p (tapi alhamdulillah tetap ada rejeki jadi niat suci ikut menyumbang untuk BBI Berbagi-nya ga ikutan gagal :D)

Dari buku-buku yang dibaca di 2012, saya sudah membuat Book Kaleidoscope-nya. Terpilih 9 Buku Terfavorit yang pernah saya posting di sini. Lalu ada pula Anugerah Cowok Fiksi Terfavorit dan Best Book Covers 2012.

Statistik
Buku dalam bahasa Inggris, baik bhs.Inggris sebagai bahasa asli maupun terjemahan (Eng): 24
Buku terjemahan dalam bahasa Indonesia (t): 31
Buku oleh pengarang Indonesia (Ind): 19
Ebook (e): 15
Buku dari pengarang yang baru bagi saya (d/debut): 34

Kalau dari statistik, jumlah terbesar masih dipegang oleh novel terjemahan. Kehadiran buku-buku berbahasa Inggris mulai menunjukkan tren meningkat di pertengahan tahun. Salahkan Clockwork Prince yang menjadi pemicu keroyalan saya membeli buku berbahasa Inggris (yang dahulu sangat jarang saya beli karena lebih mahal).

Yang bikin saya selanjutnya jadi royal, hobi belanja buku import XD

Dan meski sangat suka membaca ebook, ternyata jumlah ebook yang saya baca tahun lalu hanya 15 buku, atau sekitar 20% dari total bacaan. Nah, jadi, kepada para penerbit printed books, no worries okeh :D

Namun dari jumlah 15 ebook tersebut bisa terlihat bahwa saya mulai mengandalkan ebook untuk genre Classic. Tampaknya ini semata karena ketersediaan terjemahan. Sebab ketika tersedia terjemahan Indonesia-nya, dalam beberapa kesempatan saya masih lebih memilih terjemahan ketimbang ebook (Pride and Prejudice, A Tale of Two Cities, Mansfield Park, Metamorphosis).

Buku klasik terjemahan, terutama yang covernya ganteng (ehm) masih disukai :D

Untuk genre, rupanya kesetiaan saya pada Classic, Children, YA, Fantasy dan Dystopia masih mendominasi. Ada beberapa metropop/chiclit bahkan terselip adult romance \(^v^)\ tapi itu sedikit sekali. Meski masih dalam lingkup genre aman, bukan berarti saya ga bisa mencicipi hal baru, karena terdapat 34 judul yang berasal dari pengarang-pengarang yang baru bagi saya.

Lalu, berapa jumlah yang direview? *menunduk malu*

Yah, tahun lalu saya masih bisa ngeles dengan alasan baru bergabung BBI di kuartal akhir, sehingga ga banyak review yang saya telurkan. Tapi tahun ini, semangat! Apalagi dengan ikut serta dalam berbagai reading challenge yang mengharuskan saya menulis review, moga makin melecut saya untuk menghadirkan posting-posting review yang berbobot dan bergizi *cetaaarr*

PS: maafkan kalau mata saya siwer dan ternyata ada kesalahan hitung dalam info statistik :p

Daftar buku yang dibaca di 2012:
1. City of Ashes (Cassandra Clare); t
2. City of Glass (Cassandra Clare); t
3. Clockwork Angel (Cassandra Clare); t
4. City of Fallen Angels (Cassandra Clare); t
5. The Picture of Dorian Gray (Oscar Wilde); Eng, e, d
6. The Phantom of The Opera (Gaston Leroux); Eng, e, d
7. Hugo Cabret (Brian Selznick); t, d
8. Twitografi Asma Nadia (Asma Nadia); Ind
9. Nadrenaline (Nadine Chandrawinata); Ind, d
10. Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Tere-Liye); Ind
11. Clockwork Prince (Cassandra Clare); Eng
12. Charlie and The Chocolate Factory (Roald Dahl); t
13. Charlie and The Great Glass Elevator (Roald Dahl); t
14. Esio Trot (Roald Dahl); t
15. The Magic Finger (Roald Dahl); t
16. The Enormous Crocodile (Roald Dahl); t
17. Fantastic Mr Fox (Roald Dahl); t
18. The Giraffe and The Pelly and Me (Roald Dahl); t
19. Danny The Champion of The World (Roald Dahl); t
20. The Hunger Games (Suzanne Collins); t, d
21. Catching Fire (Suzanne Collins); t
22. Mockingjay (Suzanne Collins); t
23. Pride and Prejudice (Jane Austen); t, d
24. Catatan Ichiyo (Rei Kimura); t, d
25. Partikel (Dee); Ind
26. Fifty Shades of Grey (E. L. James); Eng, e, d
27. James and The Giant Peach (Roald Dahl); t
28. Winter Dreams (Maggie Tiojakin); Ind, d
29. Sejuta Pelangi (Oki Setiana Dewi); Ind, d
30. Noni: Nyanyian Ibu (Bung Smas); Ind
31. 99 Cahaya di Langit Eropa (Hanum Rais - Rangga Almahendra); Ind, d
32. Noni: Hantu Penculik (Bung Smas); Ind
33. The Devil's Whisper (Miyuki Miyabe); t, d
34. Metamorphosis (Kafka); t, d
35. Fifty Shades Darker (E. L. James); Eng, e
36. Fifty Shades Freed (E.L. James); Eng, e
37. Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (Tere Liye); Ind
38. Hello Goodbye (Ayuwidya); Ind, d
39. Daisyflo (Yennie Hardiwidjaja); Ind, d
40. Sunshine Becomes You (Ilana Tan); Ind
41. If I Stay (Gayle Forman); t, d
42. Where She Went (Gayle Forman); t
43. Perahu Kertas (Dee); Ind
44. The Espressologist (Kristina Springer); t, d
45. Divortiare (Ika Natassa); Ind, d
46. Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan); Ind, d
47. A Midsummer Night's Dream (William Shakespeare); Eng, e, d
48. City of Lost Souls (Cassandra Clare); Eng
49. Hamlet (William Shakespeare); Eng, e
50. The Comedy of Errors (William Shakespeare); Eng, e
51. The Importance of Being Earnest (Oscar Wilde); Eng, e
52. Out Of My Mind (Sharon M. Draper); Eng, d
53. Lady Windermere's Fan (Oscar Wilde); Eng, e
54. A Tale of Two Cities (Charles Dickens); t, d
55. The Perks of Being A Wallflower (Stephen Chbosky); Eng, d
56. The Castle in The Pyrenees (Jostein Gaarder); Eng
57. Memory and Destiny (Yunisa KD); Ind, d
58. Divergent (Veronica Roth); t, d
59. Delirium (Lauren Oliver); t, d
60. The Fault in Our Stars (John Green); Eng, d
61. Battle Royale (Koushun Takami); Eng, d
62. Tokyo Zodiac Murders (Soji Shimada); t, d
63. Mansfield Park (Jane Austen); t
64. Matched (Ally Condie); t, d
65. Blue Romance (Sheva); Ind, d
66. Snow Country (Yasunari Kawabata); t, d
67. Romeo and Juliet (William Shakespeare); Eng, e
68. The Canterville Ghost (Oscar Wilde); Eng, e
69. Fahrenheit 451 (Ray Bradbury); Eng, d
70. Negeri Para Bedebah (Tere Liye); Ind
71. Life of Pi (Yann Martel); Eng, e
72. Sense and Sensibility (Jane Austen); Eng, e
73. The Casual Vacancy (J.K. Rowling); Eng
74. The Merchant of Venice (William Shakespeare); Eng, e

Friday, January 4, 2013

Sekilas Shakespeare

Memasuki bulan ke-3 event Let's Read Play berjalan, boleh juga nih kalau saya ngobrol sedikit soal Shakespeare. Kali ini saya kepingin ngobrolin kategori drama Shakespeare

Seperti kita ketahui, drama Shakespeare secara umum terbagi menjadi 3; Tragedy (Tragedi), Comedy (Komedi) dan History (Sejarah).

Tragedy (Tragedi)
Dalam kategori ini, biasanya kita akan bisa menebak; karakter utamanya pasti mati. Kadang-kadang malah ga cuma karakter utamanya saja yang "dibunuh" oleh Shakespeare; tapi juga karakter-karakter pendukung.

Tapi esensi Tragedy sesungguhnya adalah perubahan nasib/peruntungan, di mana harapan dan ambisi kandas dan hancur berantakan. Kematian digunakan sebagai simbol akhir dari segalanya, akhir dari harapan; simbol bagi ambisi yang kalah telak oleh nasib.

Untuk membangun cerita yang seperti ini, Shakespeare meramu karakter-karakternya sedemikian sehingga pembaca/penonton merasakan keterikatan dengan para karakter tersebut, memahami atau bahkan menyayangi mereka, dan bersimpati.

Ophelia (Hamlet), lukisan oleh John William Waterhouse | Sumber

Karena kisah Tragedy berjalan di seputar para karakter, mereka tampil menonjol dalam cerita dan biasanya akan sulit untuk dilupakan. Ambil contoh karakter-karakter seperti Romeo, Juliet, atau Hamlet, atau Iago dalam Othello. Dengan karakter-karakter yang menonjol dan unforgettable, serta konflik yang lebih berat, wajar jika Shakespeare kemudian sangat terkenal dengan Tragedy-nya.

Drama yang masuk dalam kategori Tragedy:
Romeo and Juliet, Hamlet, Macbeth, Othello, dll.

Comedy (Komedi)
Kebalikan dari Tragedy.
Istilah Comedy untuk drama-drama Shakespeare berasal dari era Elizabethan, yang agak sedikit berbeda makna dengan istilah komedi masa kini. Comedy Shakespeare secara umum berarti kisah dengan happy ending, yang berjalan dengan konflik yang lebih ringan. Jadi, penekanan Comedy ada pada 'happy ending' dan 'ringan'-nya bukan pada 'lucu'-nya, meski lucu tetaplah bagian dari Comedy.

Poster Broadway performance The Comedy of Errors tahun 1879 | Sumber

Selain akhir yang bahagia, Comedy Shakespeare juga seringkali memiliki ciri-ciri:
- Ada pernikahan, sejoli yang bersatu
- Pertukaran identitas, karakter yang menyamar
- Karakter pelayan yang pandai
- Salah paham antar karakter
- Elemen-elemen komedi yang biasa muncul dalam seni pertunjukan seperti slapstick, lelucon-lelucon garing/absurd, lelucon kasar, saling ejek, dll. (Dengan kata lain, segala yang sering kita lihat di Srimulat/OVJ lah :p)
- Memiliki lebih dari satu plot
- Penekanan lebih pada situasi ketimbang karakter sehingga kalaupun ada karakter yang kurang beruntung nasibnya kita ga merasa sedih-sedih amat atau bahkan tertawa.

Drama yang masuk dalam kategori Comedy:
The Comedy of Errors, A Midsummer Night's Dream, The Merchant of Venice, dll.

History (Sejarah)
Sesuai namanya, drama Shakespeare dalam kategori ini berlatar belakang sejarah.
Awalnya sejarah yang dimaksud adalah kehidupan raja-raja Inggris. Akan tetapi kemudian, drama dengan latar sejarah Romawi juga bisa dimasukkan ke dalam kategori ini.

Eddie Redmayne dalam pertunjukan Richard II | Sumber

Drama yang masuk dalam katergori History:
King John, Richard II, Henry IV, Henry V, Richard III, dll.

*

Selain ketiga kategori itu, ada pula pecahan Comedy yang diberi istilah Romance (contoh: The Winter's Tale) dan Problem Plays (contoh: All's Well That Ends Well, Measure for Measure, The Merchant of Venice). Tetapi buat saya sih, dari pada pyusing mending masukin aja ke Comedy :p

Itu tadi bincang sekilas tentang drama Shakespeare. Ga mendalam, ya namanya juga sekilas :p Lagian saya ga belajar sastra atau drama jadi yaa pengetahuannya ala kadarnya saja.

Sejauh ini saya baru membaca 6 naskah drama Shakespeare; 3 Tragedy dan 3 Comedy. Menurut saya masing-masing memiliki daya tariknya.

Jika Tragedy sudah menarik dengan sendirinya (karena konflik dan karakternya), membaca Comedy ternyata ada seninya.

Meski lucu bukan definisi langsung dari Comedy, tapi tetap saja kelucuan adalah hal yang diharapkan dari sebuah Comedy. Masalahnya, kisah Comedy tidak selalu lucu begitu saja, yang memang dari ceritanya saja sudah banyol dan konyol; contohnya The Comedy of Errors. Tapi ada juga yang problematik, seperti The Merchant of Venice. Adegan court di The Merchant of Venice itu, misalnya, baru bisa terasa lucu sekali setelah saya membayangkan aksi panggungnya (itupun beberapa hari setelah selesai membaca, bahkan saya merasa perlu mengedit reviewnya sedikit karena tadinya adegan itu cuma saya anggap amusing tapi ga lucu :p).

Aah, andai setiap kali usai membaca satu play bisa langsung nonton aksi panggungnya :p

Masih banyak lagi naskah Shakespeare yang belum saya baca, saya bahkan belum membaca satu pun dari kategori History.

Sambil lanjut baca, mo jalan-jalan juga ngintipin review-review Shakespeare dari para peserta Let's Read Play. Mo ikutan ngintip? List-nya ada di sini.

Sumber: Wikipedia dan berbagai sumber