Merasa belum puas dengan satu jam bersama pengarang yang terkenal dengan Dunia Sophie-nya ini, pada Rabu 12 Oktober, sehari setelah jumpa penggemar itu, saya pun melancong ke Depok tepatnya Perpustakaan Universitas Indonesia.
Perjalanan dari rumah saya ke Depok itu bukan perjalanan yang terlalu mudah. Selain jauh, itu pertama kalinya saya pergi ke sana seorang diri! Buta arah, buta kendaraan, modalnya tanya sana-sini.. ow satu lagi, hanya dengan berbekal uang 25ribu rupiah :D (ini gara-gara kemarinnya lupa ke ATM hehe) Jadi ga ada opsi untuk yang namanya taxi! :p Tantangan lainnya, harus tiba sebelum pukul 10 pagi, so.. tak ada ruang untuk nyasar yang biasanya menjadi kebiasaan saya haha...
Tapi saya harus melakukannya, tidak bisa tidak. Jostein Gaarder bukan sekedar penulis terkenal, saya mungkin tidak akan terlalu peduli jika beliau hanya sekedar penulis terkenal. Kata "terkenal" tidak mengandung makna apapun bagi saya. Beliau adalah penulis yang tulisan-tulisannya punya tempat khusus di hati saya, kesempatan ini entah kapan akan datang lagi. Jadi.. mari kita berpetualang! :D
Misi saya ke Perpustakaan UI ada 2:
1. Menemukan titik temu antara filsafat dan lingkungan, yang masih belum saya pahami
2. Foto bareng oom Jostein! :D
Jostein Gaarder hadir di Perpustakaan Universitas Indonesia dalam rangka memberi kuliah umum dalam rangkaian Polar Norway Exhibition.
Acara ini, karena di kampus, agak lebih formal ketimbang acara di Gramedia tentunya. Meski demikian, Jostein sempat berseloroh soal kebiasaannya minum coke saat memberikan kuliah "Saya mestinya dibayar oleh Coca Cola Company, nih!" LOL Dari Penerbit Mizan yang menjadi host di acara hari Selasa, saya tahu bahwa beliau ini selalu minum saat talkshow atau sejenisnya, dan minumannya tidak pernah "bening" :D
Fokus hari itu adalah tentang pelestarian lingkungan.
Jostein kembali mengutarakan, "Jika saya harus memilih antara hidup panjang tetapi bumi rusak atau mati hari ini tetapi bumi tetap lestari, maka saya akan memilih untuk mati sekarang saja."
Lalu tibalah sesi tanya-jawab, di mana saya selalu kalah cepat :p, namun untungnya pertanyaan yang sama ada yang menanyakannya.
Tentang Dunia Sophie, Sophie Prize, filsafat dan lingkungan
Sekali lagi Jostein menegaskan jika saja ia menulis buku itu hari ini, isinya akan berbeda. Ia tidak menulis tentang lingkungan, karena kita lebih peduli terhadap lingkungan saat ini ketimbang 20 tahun yang lalu saat beliau menulis Dunia Sophie.
Bahwa pertanyaan paling filosofis saat ini adalah bagaiamana kita bisa menjaga kelestarian alam ini.
Daan.. akhirnya keluarlah kata kunci itu; "earth is part of my identity"
Itulah aha! moment saya. Seketika saya paham.
Jika bumi dan alam ini adalah bagian dari identitas kita, bagian dari jawaban atas pertanyaan paling mendasar "Siapa saya?" maka wajarlah jika kita tidak ingin kehilangan identitas tersebut, kita harus menjaga agar bumi ini lestari!
Bagaimana mempertahankan kelestarian bumi agar terhindar dari kerusakan, sejalan dengan bagaimana kita bisa tetap berpegang pada identitas diri agar tidak kehilangan jati diri sebagai manusia. Manusia, yang tidak akan ada jika bumi ini tidak tersedia untuk tempat kita tinggal.
Rasanya, saat itu juga saya ingin memeluk oom Jostein karena sudah memberi pencerahan di hari yang luar biasa cerah itu :D
Semoga, kelak akan ada dari Indonesia yang meraih Sophie Prize yaa!
***
Misi pertama sukses!
Selanjutnya, Jostein Gaarder memberikan sesi tanda tangan di area Polar Norway Exhibition.
Saatnya menjalankan misi ke-2. Hari itu saya membawa Bibbi Bokken untuk ditandatangani. Sebenarnya di sana Times Bookstore membuka stand dan menjual beberapa buku yang belum saya miliki, sayangnya saya tidak membawa uang *tepok jidat tiga kali. Jadi, cukuplah Bibbi Bokken saja.
Bibbi Bokken sayapun ga mau kalah ikut bertanda tangan :D
Saya adalah orang ke-3 di barisan antrian yang segera mengular di belakang saya. Daan.. akhirnyaaa bisa berfoto bareng oom Jostein..! Yaaaay!! Makasiih yaa oom, dan makasiiih banget sama yang ngantri di belakang saya yang udah bersedia motoin *pelukcium
Keseluruhan pengalaman itu rasanya seperti mimpi. Saya benar-benar menikmatinya. Kapan-kapan datang lagi ya oom Jostein! Nanti saya traktir coke deh :D
Pertama-tama ijinkan saya membuka posting ini dengan “Gyaaaa~!!” :D
Ya, bukan sulap bukan sihir, Jostein Gaarder memang hadir di Jakarta. Dan saya, sebagai penggemar Dunia Sophie ga mungkin rela melewatkan kesempatan bertemu beliau.
Dunia Sophie sudah bertengger di posisi atas daftar buku terfavorit saya selama.. hmm.. berapa tahun ya..? 10 tahun? Kurang-lebih. Yang jelas, buku ini, biarpun setelahnya saya membaca berbagai buku yang tak kalah menawan tapi tetap bisa bertahan sebagai jawara di hati saya. Bukan hanya karena pelajaran filsafatnya, tapi terutama karena kejutan luar biasa tentang kebenaran identitas Sophie sang tokoh utama!
Saya masih ingat ketika itu membaca Dunia Sophie di tempat tidur (jangan ditiru ya adik-adik :p), ketika sampai di bagian penyibakan siapa Sophie sebenarnya, saya langsung ternganga, lalu tertawa terbahak-bahak seraya melempar buku itu (ke ranjang kok melemparnya, saya kan sayang buku :D). Saya berkata, “Ini sinting!” Saya belum pernah dipermainkan oleh cerita begitu rupa selain oleh Dunia Sophie, dan karenanya saya penasaran siapakah yang menulis buku sesinting itu :D
Dan, hari Selasa dan Rabu 11-12 Oktober lalu saya, akhirnya, memuaskan rasa penasaran itu! Jostein Gaarder hadir di Jakarta; Selasa di Gramedia Matraman dan pada hari Rabu-nya di Perpustakaan UI Depok untuk memberikan kuliah umum.
Perasaan saya ketika pertama kali melihat beliau benar-benar tak terkatakan. Ini dia orangnya! Ini dia, yang telah mempermainkan saya dengan Dunia Sophie-nya!! :D
Jostein Gaarder, pria kelahiran Oslo, Norwegia 8 Agustus 1952 itu hadir di lantai 1 Gramedia Matraman Jakarta sekitar pukul 12 siang. Bertubuh tinggi besar, saya pikir suara beliau akan berat tetapi ternyata suara dan gaya bicara beliau terdengar ringan dan lincah, segera mengingatkan saya pada Pak BJ Habibie :)
Dalam acara yang dipadati fans Jostein Gaarder tersebut, beliau mengungkapkan beberapa hal..
Tentang anak-anak dan filsafat
Jostein banyak menjadikan anak-anak sebagai tokoh utama ceritanya, meskipun cerita tersebut cukup “berat” dan mengandung banyak mengandung filsafat. Menurut beliau, anak-anak selalu terpesona pada apapun, sedang orang dewasa mudah terbiasa pada semua hal.
Jostein mengambil contoh dongeng HC Andersen yang berjudul The Emperor’s New Clothes (Baju Baru Kaisar) dimana seorang raja memamerkan baju barunya yang luar biasa yang hanya bisa dilihat oleh orang pandai. Tak seorang pun tidak merasa heran dan justru ikut memuji pakaian sang raja karena tidak mau dianggap bodoh karena tidak bisa melihat baju sang raja. Dan seorang anaklah yang dengan heran dan jujur berkata, “ Dia telanjang!”
Jostein Gaarder juga mengungkapkan bahwa sejak kecil sudah merasa bahwa ia merupakan bagian dari misteri, dari sesuatu yang lebih besar.
Tentang karya favoritnya
Jostein mengatakan, meski sulit untuk memilih karena ia menyukai semua karyanya seperti seorang ayah mencintai semua anak-anaknya, ia menyebut The Solitaire Mystery (Misteri Soliter) dan The Ringmaster’s Daughter (Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Mimpi) sebagai tulisan favoritnya. Jostein juga mengaku sangat menyukai Cecilia - tokoh anak perempuan dalam Through the Glass, Darkly yang sangat melekat di hatinya seakan-akan ia putrinya sendiri. (Jostein tidak mempunyai anak perempuan, beliau hanya memiliki anak laki-laki)
Tentang buku, cerita dan surat
Menurut Jostein, informasi apapun jika disampaikan dalam bentuk cerita akan lebih mudah diingat dan melekat lebih lama dalam memori kita.
Dalam novel-novelnya Jostein banyak bercerita melalui surat. Mengapa surat? Karena ia ingin menceritakan sebuah kisah, dan juga kisah di luar kisah tersebut. Seperti halnya ketika seseorang menceritakan tentang mimpi yang dialaminya, maka informasi yang kita dapatkan bukan hanya tentang mimpi tersebut tetapi juga mengenai orang yang mengalami mimpi itu. Di balik sebuah kisah yang diceritakan di dalam surat, terdapat keberadaan sang penulis. Dari sebuah surat, kita bisa mendapatkan identitas sang penulis sekaligus cerita di balik surat tersebut.
Ketika menulis Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, yang ditulisnya atas permintaan untuk membuat buku tentang buku, Jostein menulis bersama Klaus Hagerup. Dalam proses penulisannya, Jostein dan Klaus bertukar materi penulisan melalui fax, sehingga nyaris seperti kedua tokoh dalam buku tersebut yang saling bertukar buku surat.
Jostein mengagumi betapa teknologi telah begitu maju. Kini tak perlu lagi repot bertukar tulisan melalui fax, sudah ada email. Jostein juga menyinggung tentang The Castle of The Pyrenees di mana tokoh utamanya saling berkirim email, bentuk lain dari surat-menyurat.
Tentang Dunia Sophie
Jostein menceritakan bahwa Dunia Sophie ditulisnya tanpa ekspektasi apapun. Jostein bahkan mengira buku tersebut tidak akan laku sampai-sampai beliau berkata pada sang istri, “ Aku sedang menulis buku yang tidak akan menghasilkan uang” yang serta-merta dijawab oleh istrinya, “Kalau begitu, cepat selesaikan!” :p
Seandainya tahu bahwa buku tersebut akan sangat laku dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, bahkan India, Indonesia, Jostein akan memasukkan lebih banyak lagi ke dalam buku tersebut termasuk di dalamnya filsafat India, Muslim, Sufi, dan lain-lain.
Tentang Sophie, wanita dan filsafat
Tak pelak Dunia Sophie adalah karya Jostein yang paling identik dengan filsafat, meski filsafat banyak juga dimasukkan ke dalam buku-buku beliau yang lain. Lantas, mengapa Jostein memilih karakter Sophie – seorang anak perempuan – sebagai karakter utama dalam novel filsafatnya?
Mengenai ini Jostein menjelaskan bahwa karakter dalam novel filsafatnya haruslah wanita, ‘Sophie’ diambil dari bahasa Yunani yang memiliki arti kebijaksanaan, sedang filsafat adalah upaya untuk mencapai kebijaksanaan. Dalam tata bahasa barat, kata “wisdom” merupakan jenis kata feminin (dalam beberapa bahasa di Eropa, kata sering dibedakan dalam kelompok kata feminin dan maskulin)
Menurutnya sangat wajar wanita diidentikkan dengan filsafat dan kebijaksanaan karena wanita memiliki kebutuhan untuk mengerti, sementara laki-laki lebih ingin dimengerti.
Lantas mengapa filsuf kebanyakan laki-laki? Jostein mengemukakan teorinya bahwa dahulu wanita tidak mendapat kebebasan untuk menuntut ilmu, dan sesungguhnya ada filsuf wanita tetapi kurang dikenal.
Tentang filsafat dan teori filsafat yang paling disukai
Ini serupa dengan pertanyaan “siapa filsuf favorit saya” katanya. Bagi Jostein sangat sulit untuk menjawabnya karena setiap filsuf membahas hal-hal yang unik dan berbeda, dan teori mereka masing-masing sangatlah menarik dan menggambarkan keadaan sejarah suatu masa tertentu.
Lebih jauh mengenai filsafat, menurut Jostein, filsafat terdiri atas pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, beberapa pertanyaan filsuf sudah dapat dijawab. Seperti misalnya seperti apa dunia ini, ada apa di balik bulan, cara kerja tubuh manusia, dan lain sebagainya.. Meski demikian, selalu ada misteri lain untuk dipecahkan, sehingga semakin kita mengerti semakin pula kita mengerti bahwa banyak hal yang belum kita mengerti. Namun ada juga pertanyaan-pertanyaan yang masih akan terus kita cari jawabannya seperti “apa itu cinta?”, “apa itu keadilan?” Pertanyaan semacam ini tidak memiliki jawaban pasti. Kita akan selalu menanyakan pertanyaan ini lagi dan lagi.
Agama, menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis. Pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah Tuhan itu ada?”, “apakah ada kehidupan sesudah mati?” dapat dijawab oleh agama. Karenanya tidak ada pertentangan antara filsafat dengan agama.
Tentang Sophie Prize
Di luar dugaan, Dunia Sophie menjadi buku yang sangat laris dan menghasilkan sangat banyak uang. Dari sana Jostein dan istrinya – Siri Dannevig – mencanangkan Sophie Prize sebagai penghargaan terhadap organisasi/penelitian/perorangan yang berperan dalam kelestarian lingkungan, karena keduanya sangat peduli pada alam dan lingkungan.
Tentang Filsafat dan Lingkungan
Sudah pasti ini menjadi pertanyaan selanjutnya. Jawab Jostein, bagaimana kita dapat menjaga kelestarian alam ini merupakan pertanyaan paling filosofis saat ini. Dan jika ia menulis Dunia Sophie saat ini, ia pun akan banyak memasukkan tentang lingkungan. Menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab global, tapi tanggung jawab kosmik.
Terakhir, Jostein menyatakan bahwa setiap kita lahir dengan rasa penasaran, keingintahuan. Pada dasarnya semua orang lahir sebagai filsuf. Sayangnya, seiring usia, kita menjadi terbiasa akan segala sesuatu. Bagi manusia dewasa, dibutuhkan stimulan luar biasa untuk membangkitkan keterpanaan, seperti obat-obatan, hantu, alien... Bagi Jostein, tidak dibutuhkan alien untuk membuatnya terpesona, karena dirinya sendiri adalah alien, yang hingga kini setiap kali terbangun di pagi hari masih terpana dan bertanya, "Siapa saya?"
"I'm still amazed!" ujarnya mengakhiri perbincangan.
***
Fiuh, apa kalian masih bersama saya? :D Ya, hanya satu jam saja pertemuan kami, tapi kalau diceritakan ternyata panjang juga ya... haha... ini sih karena saya yang ga bisa berhenti aja :p
Oya, tentu saja, setelah sesi bincang-bincang, ada sesi tanda tangan. Saya membawa Dunia Sophie dan Gadis Jeruk – keduanya Gold Edition terbitan Mizan (sayangnya saya gagal menemukan koleksi lama saya huhuhu) – untuk ditandatangani. Plus 2 titipan dari Mas Tanzil dan Fanda. Keduanya blogger buku yang aktif, sayang sekali karena lokasi di Bandung dan Surabaya tidak memungkinkan mereka untuk datang. Aah sayang sekali ya, padahal bisa ketemuan :)
Isi tas saya siang itu :D
Yaay Dunia Sophie & Gadis Jeruk sudah ditandatangani oom Jostein!!
Di acara tersebut saya juga bertemu dengan admin @bukunya, yang di bulan Agustus lalu mengadakan kuis #GaarderFest di mana saya memenangkan Bibbi Bokken :D
Kemudian acara pun selesai... Lalu saya memandangi punggung oom Jostein dengan sedih ketika beliau melangkah meninggalkan area sudut lantai 1. Bertemu sudah, tanya-jawab sudah, tanda tangan sudah. Tapi, masih ada sesuatu yang kurang. Ada yang belum saya mengerti dengan jelas, seperti ada sesuatu yang hilang yang membuat saya masih belum memahami hubungan antara Dunia Sophie – filsafat – Lingkungan. Demi mencari mata rantai yang hilang inilah, saya bertekad untuk berpetualang mengejar Jostein Gaarder ke Depok esok harinya. Tambahan lagi, saya kan belum sempat foto bareng beliau :D
Bagaimana ceritanya? Apakah misteri terpecahkan setelah menempuh jalan berliku dari Kalimalang ke Depok? :D Ditunggu ya teman..! Besok atau lusa mampir lagi ke sini yaaa.. ;)
***
Sedikit oleh-oleh untuk yang ga bisa datang ke acara jumpa dengan Jostein Gaarder, ini ada secuil video :D Saya menontonnya berkali-kali :p semoga mengobati rindu pada oom Jostein.
PS: Buat yang belum baca Dunia Sophie, sebaiknya berhenti di menit 13:45, karena ada spoiler sesudahnya!!
Wah udah hari Jumat lagi, perasaan baru kemarin saya seru-seruan berlomba di Times Amazing Book Race. Acaranya Sabtu 16 Juli lalu. Dalam rangka ulang tahunnya, Times Bookstore ngadain Amazing Book Race yang ternyata adalah event tahunan dan ini udah book race yang ke-3! Doh, ke mana aja saya??
Waktu pertama liat iklannya saya emang pengen banget ikut tapi ga ada temen, maka acara inipun terlupakan dari benak saya sampe beberapa hari sebelum hari H, Times lewat twitternya @timesbookstore ngasih giveaway Free Pass untuk ikutan acara itu. Aduh mau dong, tapi sama siapa? Eeeh tnyata di timeline muncul 2 nama yang ikutan nyamber pengen Free Pass juga; @ikmar dan @dianputi. Langsung aja saya sahutin "Kalian ikutan? Gabung doong!" Seketika itu juga tim kami terbentuk :)) :)) FYI, saya pernah ketemu @dianputi tapi @ikmar belum, jadi kami ini bener2 tim yang terbentuk via Twitter :D Dan, Times dengan baiknya memberi kami free pass tersebut.. yaaayy!! Siap beraksi!
Sabtu pagi, para peserta berkumpul di Times Bookstore Kemang Village. Di sana kami di-briefing dulu, plus dibekali dengan sebuah orange tshirt, tas, bolpoint daan sekotak kue yang langsung saya lahap *belum sarapan euy! :D
Jadi cara mainnya begini; lomba akan diadakan di 3 tempat, pos pertama di Times Kemang Village. Pos 2 dan 3 akan diketahui setelah memecahkan petunjuk lokasi. Di setiap pos ada 3 buku yang harus ditemukan. Untuk menemukan masing-masing buku ada 3 petunjuk; petunjuk pertama dikasih gratis, tapi klo kita minta petunjuk 2 dan 3, point kita dikurangi 5 untuk setiap petunjuk tambahan yang diminta. Setiap buku harus ditemukan dalam waktu 10 menit, lewat dari itu dianggap gagal. Setelah mendapat semua buku, baru deh dikasih ptunjuk lokasi untuk pergi ke lokasi selanjutnya.
Tim 7 siap! | Pic by doublerimage
Di Kemang Village, kami berhasil mendapat 2 buku. Buku pertama salah karena terjebak petunjuk T_T Tapi buku 2 dan 3 bisa didapat dengan cukup cepat.
Pos selanjutnya adalah Times Bookstore PX - Puri. Nah, dari sinilah kami mulai mencium aroma kekalahan. Pasalnya, ternyata kami datang paling belakangan. Sepertinya kami salah jalan gitu hihi :p Mana dicegat polisi pulak LOL :)) Yasud laah.. yang penting selesaikan tugas! Tantangan di sini yang paling beraattzz! Kami harus ke counter Harley Davidson di lantai dasar, untuk mendapatkan petunjuk. Trus ke Gold Gym di lantai 3 untuk menyelesaikan tantangan. Hyaaa aampuuun.. tnyata dong kami harus workout dikit di Gold Gym.. Dikit? Apanya yg dikit kalo lutut rasanya mo copot..! hahaha.. ketauan deh ga pernah olahraga :)) :))
Pos terakhir Times Bookstore UPH. Buku pertama adalah salah satu dari seri Wimpy Kids.. tapi karena binun yg mana kami bawa aja semuanya :)) Firasat saya sih buku ke-2 yang warna biru, tapi.. Yak! Dan tnyata bener buku ke-2! *Tepok jidat. Next book, buku arsitektur Bali Home. Dan yang terakhir, yang paling ngeselin; Sherlock Holmes! Gampang banget kan? Saya langsung tahu itu jawabannya, tapi nyarinyaaaa setengah mati. Muter2in rak2 Times nyari deretan buku Sir Arthur Conan Doyle ga ketemu2. Cari di rak Fiksi dan Misteri ga ketemu. Jreng! Rupanya desye nangkring dengan manisnya di rak buku Klasik! *tepok jidat lagi
Tantangan nyari buku pun selesai. Berikutnya, ada group challenge. Beberapa tim bergabung menjadi 1 grup. Tim kami, tim 7, bergabung dengan tim 8 dan 9. Di tantangan beregu ini kami harus menebak harga buku. Harga yang paling mendekati mendapat poin. Selanjutnya tebak judul; salah satu memeragakan dan yang lain menebak judul buku yang diperagakan itu. Group challenge ini seru banget. Jadi ajang mengakrabkan diri dengan peserta lain juga.
Kami menang group challenge looh.. hoho :D
Laluu.. ini dia yang ditunggu-tunggu; pengumuman pemenang. Meski tahu ga bakal menang, tapi tetep aja berharap siapa tahu panitia salah itung LOL *ngarepdotcom Pemenangnya bikin saya terbengong-bengong.. nilainya 200 poin lebih! HAH?! Hebaaattt!! *Sambil diem-diem ngitung, poin kami minus berapa ya? :p
The winners; 1st winner dapet tiket pp ke Singapura by Lufthansa!
we're all having fun! | Pic by doublerimage
It was a truly amazing event! Super tired, but super fun at the same time! Thank you @timesbookstore for the free pass to join this book race, and of course @ikmar & @dianputi for the day! It's definitely another experience to treasure. See you all some other time! ;)
Sekarang, mo banyak-banyak baca, biar taun depan bisa menang :D *ngelirik tumpukan buku yang ngantri minta dibaca..
Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu, konon ada pepatah yang berkata begitu. Setelah pertama kalinya bikin video bbrp waktu lalu itu, sekarang pertama kalinya saya merekam diri saya sendiri ngomong (klo di video terdahulu sy "bisu") dan dengan pedenya meng-upload-nya ke Youtube. Ngeblog dan mejeng di blog itu satu hal, tapi merekam diri sendiri untuk konsumsi publik itu hal yang lain.. Maluuu yaa tnyataaah.. :)) :)) :)) Hail to all vloggers all around the blogosphere who have done this regularly.
Berawal dari Penerbit Ufuk yang menantang untuk membuat video book review tentang salah satu buku terbitan mereka, dengan iming2 hadiah 5 buah buku yang boleh dipilih sendiri. Hiyaaa gimana saya bisa berpaling dari tantangan semacam itu? LOL.. Selain itu, saya juga baru tau klo tnyata ada juga ya yg ngereview buku pake video, kirain cuma lewat tulisan ajah :p Tertantang, maka sayapun memutuskan urat malu dalam sekali tebas. Tshaaah! Maka jadilah video ini. Banyak sangat kekurangannya, mohon diampuni ya.
Without further ado, here's my video book review for City of Bones.
Judul: City of Bones
ISBN: 978-602-8224-80-2
Penulis: Cassandra Clare
Penerbit: Ufuk
Halaman: 664
Melanjutkan Buku 1 The Awakening, Stefan menghilang dengan membawa serta tuduhan atas penyerangan dan pembunuhan Mr. Tanner, salah seorang guru di Robert E. Lee Highschool. Elena tahu bukan Stefan pelakunya. Pasti Damon. Dan Stefan menghilang, ini pun pasti perbuatan Damon. Stefan tidak mungkin menghilang begitu saja setelah apa yang mereka bagi bersama hari itu; saat Stefan meminum darah Elena dan Elena meminum darah Stefan.
Namun Damon menolak memberi tahu, alih-alih ia mengatakan bahwa Stefan telah tewas. Tak menyerah, Elena pun meminta Bonnie mencarinya dengan kekuatan ramalannya. Ketika akhirnya ditemukan, Stefan pun diinterogasi polisi tapi tentu saja tidak ditemukan bukti apapun sehubungan dengan pembunuhan Mr. Tanner, namun itu tidak mengubah pandangan penduduk Fell's Church dan siswa-siswi Robert E. Lee begitu saja. Mereka tetap mencurigai Stefan. Dan Elena, yang mati-matian membela Stefan, berubah drastis kehidupannya; dari gadis terpopuler di sekolah, menjadi gadis paling tidak diinginkan kehadirannya.
Terkucil dari kehidupan sekolah, kecuali oleh sahabat-sahabatnya Bonnie dan Meredith, beban Elena tidak hanya sampai di situ. Damon telah memperlihatkan diri di kota. Kini ia terang-terangan melancarkan aksinya untuk mendapatkan Elena. Pesona Damon memikat semua orang, bahkan Bibi Judith - bibi Elena yang menjadi pengganti orang tuanya setelah mereka meninggal dunia - dan kekasihnya pun ikut-ikutan menjodoh2kan Damon dengan Elena.
Belum lagi soal buku harian yang hilang, mulai meneror Elena. Perbuatan jahat terencana Caroline dan Tyler yang bertujuan membuktikan keterlibatan Stefan dalam penyerangan pria gelandangan di bawah jembatan. Elena harus memperoleh kembali buku itu atau Stefan akan diusir dari kota. Tapi di mana buku itu? Pencarian pertama gagal total. Lalu Damon yang menawarkan diri untuk menemukan buku itu dengan syarat Elena harus mau bersamanya selama 1 jam. Haruskah ia menerima tawaran itu, menyerahkan dirinya pada Damon demi menyelamatkan Stefan?
Membaca The Vampire Diaries: The Struggle; saya dibuat cinta mati sama Damon.. :D Deskripsi tentang dirinya di awal-awal buku sukses menggambarkan keseksian Damon. Bahkan tanpa bayang-bayang Ian Sommerhalder (pemeran Damon dalam tv series-nya) pun, terasa banget betapa menawannya cowok vampir satu ini.
Tiba-tiba Damon tertawa, jantung Elena pun tersentak dan mulai berdebar kencang. Ya Tuhan, dia begitu indah. Tampan merupakan kata yang terlalu lemah dan tidak berwarna untuk menjabarkannya. Seperti biasanya, derai tawanya hanya bertahan sebentar. Namun, bahkan saat mulutnya berhenti bergelak, masih tersisa binar tawa di matanya.
Aaaww aaawww..!
Dalam buku ini hubungan antara Elena dan Damon berkembang. Stefan yang terlalu lemah setelah pertarungannya dengan Damon tidak terlalu mengambil peran. Elena banyak menutupi keadaan sebenarnya dari Stefan karena khawatir jika Stefan tahu kebenarannya, ia akan murka dan mencari Damon, sementara ia tahu Stefan tidak akan menang dari Damon.
Kekuatan psychic Bonnie pun semakin absah. Beberapa kali ia "terasuki" dan mengatakan hal-hal yang menjadi nyata, atau hal-hal tersembunyi yang tidak diketahui siapapun.
Satu-satunya hal yang mengganggu buat saya adalah Elena yang terlalu sering memberikan darahnya untuk Stefan dan Damon. Kayanya Elena ini cocok deh jadi bintang iklan obat penambah darah :p
>.<
Seperti halnya The Awakening, The Struggle juga berakhir menggantung. Ga ada pilihan lain selain harus cepat-cepat beli Buku 3 atau saya bisa gelisah siang malam karena penasaran :p Tapi jatah belanja buku bulan ini udah habis, musti tunggu sampe akhir bulan depan T_T Oh, Damon wait for me yaah..
Judul: The Vampire Diaries: The Struggle
ISBN: 978-979-024-209-8
Penulis: L.J. Smith
Penerbit: Atria
Halaman: 282
Elena: cantik, pirang, ratu sekolah. Cowok mana yang ga akan bertekuk-lutut di hadapannya. Namun di tengah kepopulerannya, ia merasakan sesuatu yang kurang. Ia merasa belum menemukan sesuatu yang penting; cowok yang benar-benar membuatnya jatuh cinta dan mencintainya, "rumah"-nya. Sampai akhirnya ia bertemu cowok itu.
Stefan: tampan, acuh, vampir. Lahir di akhir abad 15. Terpesona pada Elena bahkan sebelum ia melihatnya. Ia merasakan kehadiran gadis itu sebagai aura kuat yang menggoda. Dan ketika ia benar-benar melihat wajah Elena, jiwanya bergelora. Betapa miripnya gadis itu dengan wanita di masa lalunya - wanita yang amat dicintainya; Katherine. Wanita yang mengubahnya menjadi vampir.
Damon: mata hitam kelam bahkan lebih gelap dari malam, pesona yang tidak dapat disangkal, kakak Stefan, juga vampir, hanya lebih kuat. Dipengaruhi oleh rasa persaingan dan kebencian pada adiknya, pemuda itu tidak pernah melepaskan Stefan dari pengamatannya, bahkan selama berabad-abad ini. Ketika melihat Elena, ia tahu ia harus memilikinya, dengan cara apapun.
Elena Gilbert dibuat penasaran setengah mati pada Stefan, murid baru di sekolah menengah Robert E. Lee. Mengapa Stefan selalu menghindarinya, mempermalukannya di depan teman-temannya. Dia, gadis paling cantik dan populer sesekolah?? Di antara dirinya dan Stefan, seperti ada dinding tinggi dan tebal yang tak tertembus apapun dan siapapun. Bisakah ia, Elena, mendobrak masuk pertahanan Stefan?
Lalu peristiwa demi peristiwa aneh pun mulai meruak di Fell's Church, membuat kedamaian lingkungan itu terusik.. penyerangan, pembunuhan.. Benarkah aman bagi Stefan untuk berada di antara manusia atau tepatnya amankah para manusia itu dengan Stefan di tengah-tengah mereka? Yakinkah ia bahwa ia memiliki cukup pengendalian diri dan tidak akan melukai mereka?
Dan Damon, mau apa dia di kota ini?
Sejujurnya saya agak kesulitan untuk menamatkan buku yang hanya setebal 281 halaman ini.
Pertama, saya sangat tidak tergoda dengan ilustrasi covernya. Saya menghargai buku sebagai satu benda utuh luar-dalam, ilustrasi seperti pada cover The Vampire Diaries: The Awakening ini benar-benar kurang mengesankan bagi saya. Meski kemudian saya mulai melihat kecantikan Elena dalam ilustrasi tersebut, saya tetap bersyukur Atria mengubah desain sampul seri-seri berikutnya.
Kemudian, saya agak terganggu dengan terjemahannya. Entah kenapa saya lebih menyukai aku-kau sebagai bahasa buku, ketimbang aku-kamu. Juga beberapa istilah yang tidak tepat seperti "anak laki-laki" untuk mewakili Stefan? Err.. Mungkin versi aslinya "boy" tapi bukan berarti harus diterjemahkan sebagai anak laki-laki kan, kalau sudah SMU. Kadang kita menyebut teman sekelas kita dengan sebutan "anak-anak" tapi tidak untuk menarasikan kehadiran Stefan, rasanya. Untungnya seiring lembar demi lembar, penerjemah tampaknya menemukan kata yang lebih tepat dibandingkan "anak laki-laki" yaitu "cowok". Dan seiring dengan cerita yang semakin intens saya pun akhirnya terbiasa dengan aku-kamu.
Namun dari segi cerita, The Vampire Diaries ini sangat menarik. Khas cerita fiksi fantasi remaja, ringan tapi membius. Pertama kali terbit tahun 1991 dan hanya dibuat dalam 3 volume. Namun karena desakan pembaca, L.J. Smith akhirnya menulis lanjutannya. Kini serial ini sudah diangkat ke layar kaca dan menjadi salah satu serial TV yang paling diminati di Amerika. Saat ini Atria sudah menerbitkan 4 serinya dan saya benar-benar berharap Atria menerbitkan semua seri The Vampire Diaries ini.
Semakin membaca, saya benar-benar jadi semakin tertarik. Terutama pada bagian Katherine. Keberadaan dan kematiannya serta karakternya terasa aneh. Dan tentu saja tentang Damon. Ya, saya harus segera membaca Buku 2. Damon I'm coming..!!
Yang udah baca dan melahap TV Seriesnya, jangan spoiler ya.. :D
Judul: The Vampire Diaries: The Awakening
ISBN: 978-979-0242-07-4
Penulis: L.J. Smith
Penerbit: Atria
Halaman: 281
Ini hutang review dari tahun lalu, waktu saya mendapat paket dari Vixxio, karena memenangkan giveaway-nya. Namanya aja Vixxio yang merupakan toko buku bekas online, jadi pasti deh hadiahnya buku. Pertanyaannya; buku apa? Gyaah gampang bgt pertanyaannya.. jelas2 judul bukunya disebutin di judul posting ini.. *gubrak! Berarti pertanyaan berlanjut; seperti apa dan gimana cerita bukunya? Yuk, sama-sama kita buka paketnya..!
The Man Who Loved Books Too Much
Buku terbitan Alvabet ini bercerita tentang seorang pria bernama John Gilkey yang sangat menyukai buku, namun untuk mendapatkan buku-buku demi melengkapi koleksinya, ia mencuri. Modus operandinya selalu sama namun sangat efektif; berpura2 membeli sebuah buku langka melalui telepon kemudian membayarnya dengan salah satu dari nomor2 kartu kredit yang sudah dikoleksinya terlebih dahulu.
Kemudian sebagai lawan tangguhnya, adalah Ken Sanders, seorang bibliodick - detektif dalam bidang buku, yang luar biasa geram dengan aksi Gilkey dan bertekad menangkap basah dirinya. Misi lainnya adalah menemukan koleksi buku hasil curian yang masih disembunyikan Gilkey.
Uniknya, Gilkey berkali-kali tertangkap, berkali-kali ditahan selama beberapa waktu meski tidak pernah terlalu lama, namun itu tidak membuatnya kapok. Ia justru semakin bersemangat untuk mencuri buku lebih banyak lagi. Di dalam buku setebal 300 halaman ini kita akan mengikuti perjalanan Gilkey dalam mengumpulkan buku2 langka dengan atas nama kecintaannya pada buku dan ambisi pribadinya mengkoleksi buku.
Kisah yang dituturkan Allison Hoover Bartlett dari sudut pandang dirinya ini merupakan kisah nyata, meskipun saya tidak banyak melakukan riset sendiri untuk membuktikan bahwa ini benar2 kisah nyata; soalnya waktu saya tanya ke dik Google ttg John Gilkey, yang muncul justru seorang artis sirkus, dan kalaupun ada ttg Gilkey sang pencuri, literaturnya hanya dari buku Allison ini. Jadi saya hanya bisa percaya pada informasi genre yang tertera di halaman 2 di bawah ISBN; Kisah Nyata.
Saat membaca satu dua halaman, entah kenapa saya langsung teringat pada Professor and The Mad Man, untuk kemudian di tengah2 buku mendapati bahwa Allison tnyata sangat menggemari buku tersebut. Mungkin buku itu pula yang memotivasinya menulis buku ini. Mengingat sampai saat ini sy belum jg berhasil menamatkan Professor and The Mad Man, di bbrp halaman awal sy sempat ngeri jangan2 buku ini bakal berakhir sama; nangkring di rak buku tanpa pernah selesai dibaca, tapi tnyata saya justru ga bisa berhenti membacanya!
The Man Who Loved Books Too Much memuat banyak hal tentang dunia buku dan kolektor buku. Karenanya, bagi pecinta buku bahkan yang amatiran seperti sayapun, buku ini terasa dekat dan mewakili.
Seperti petikan berikut:
Hal. 127 (klik utk perbesar)
Sy ngerasain bgt! Betapa sy berdebar2 hanya dengan melihat di internet gambar2 dari bbrp buku pertama saya; Serial Tini (yg paling pertama sy miliki berjudul Kiki Kelinci), dan betapa inginnya saya memiliki buku2 tersebut lagi. Sepanjang buku ini, sy sama sekali ga bisa merasakan kenapa edisi pertama begitu penting. Bagi sy buku2 tertentu yg memiliki "sejarah" bersama saya-lah yg paling ingin sy koleksi.
Juga tentang "kekuatan" buku fisik bila dibandingkan dengan buku elektronik (e-book):
Hal. 217 (klik utk perbesar)
Buku ini pun menyelipkan humor yang menggelitik, seperti:
Hal. 178 (klik utk perbesar)
Ending-nya menarik, lebih tepatnya menjanjikan..! Hmm tapi itu rahasia, cukup kedip2 aja y buat yang udah baca.. ;) Yang belum baca, baca dong!
Secara keseluruhan, buku ini seperti mak comblang yang akan mempertemukan kembali cinta kita pada buku manakala mungkin kita sudah melupakannya.. menyalakan lagi bara dari hasrat terpendam untuk mengkoleksi buku dan membakar semangat untuk sebuah mimpi; punya perpustakaan pribadi impian masa kecil!
Setidaknya, begitulah efeknya pada saya.. Saking terpengaruhnya sama buku ini, klo kamu liat list buku yg saya baca sepanjang tahun 2010 lalu (lihat list-nya di sini), setelah buku ini di urutan No. 7, ga lama kemudian saya membeli box set Malory Towers dan St. Clare - yg sdh sejak lama tertunda - dan melahapnya nonstop! Efek pada Anda? Silahkan dirasakan sendiri.;)
***
Special thanks to Vixxio for the book! ;)
Follow Vixxio on Twitter, karena sering ada bagi2 buku looh.. :D