Merasa belum puas dengan satu jam bersama pengarang yang terkenal dengan Dunia Sophie-nya ini, pada Rabu 12 Oktober, sehari setelah jumpa penggemar itu, saya pun melancong ke Depok tepatnya Perpustakaan Universitas Indonesia.
Perjalanan dari rumah saya ke Depok itu bukan perjalanan yang terlalu mudah. Selain jauh, itu pertama kalinya saya pergi ke sana seorang diri! Buta arah, buta kendaraan, modalnya tanya sana-sini.. ow satu lagi, hanya dengan berbekal uang 25ribu rupiah :D (ini gara-gara kemarinnya lupa ke ATM hehe) Jadi ga ada opsi untuk yang namanya taxi! :p Tantangan lainnya, harus tiba sebelum pukul 10 pagi, so.. tak ada ruang untuk nyasar yang biasanya menjadi kebiasaan saya haha...
Tapi saya harus melakukannya, tidak bisa tidak. Jostein Gaarder bukan sekedar penulis terkenal, saya mungkin tidak akan terlalu peduli jika beliau hanya sekedar penulis terkenal. Kata "terkenal" tidak mengandung makna apapun bagi saya. Beliau adalah penulis yang tulisan-tulisannya punya tempat khusus di hati saya, kesempatan ini entah kapan akan datang lagi. Jadi.. mari kita berpetualang! :D
Misi saya ke Perpustakaan UI ada 2:
1. Menemukan titik temu antara filsafat dan lingkungan, yang masih belum saya pahami
2. Foto bareng oom Jostein! :D
Jostein Gaarder hadir di Perpustakaan Universitas Indonesia dalam rangka memberi kuliah umum dalam rangkaian Polar Norway Exhibition.
Acara ini, karena di kampus, agak lebih formal ketimbang acara di Gramedia tentunya. Meski demikian, Jostein sempat berseloroh soal kebiasaannya minum coke saat memberikan kuliah "Saya mestinya dibayar oleh Coca Cola Company, nih!" LOL Dari Penerbit Mizan yang menjadi host di acara hari Selasa, saya tahu bahwa beliau ini selalu minum saat talkshow atau sejenisnya, dan minumannya tidak pernah "bening" :D
Fokus hari itu adalah tentang pelestarian lingkungan.
Jostein kembali mengutarakan, "Jika saya harus memilih antara hidup panjang tetapi bumi rusak atau mati hari ini tetapi bumi tetap lestari, maka saya akan memilih untuk mati sekarang saja."
Lalu tibalah sesi tanya-jawab, di mana saya selalu kalah cepat :p, namun untungnya pertanyaan yang sama ada yang menanyakannya.
Tentang Dunia Sophie, Sophie Prize, filsafat dan lingkungan
Sekali lagi Jostein menegaskan jika saja ia menulis buku itu hari ini, isinya akan berbeda. Ia tidak menulis tentang lingkungan, karena kita lebih peduli terhadap lingkungan saat ini ketimbang 20 tahun yang lalu saat beliau menulis Dunia Sophie.
Bahwa pertanyaan paling filosofis saat ini adalah bagaiamana kita bisa menjaga kelestarian alam ini.
Daan.. akhirnya keluarlah kata kunci itu; "earth is part of my identity"
Itulah aha! moment saya. Seketika saya paham.
Jika bumi dan alam ini adalah bagian dari identitas kita, bagian dari jawaban atas pertanyaan paling mendasar "Siapa saya?" maka wajarlah jika kita tidak ingin kehilangan identitas tersebut, kita harus menjaga agar bumi ini lestari!
Bagaimana mempertahankan kelestarian bumi agar terhindar dari kerusakan, sejalan dengan bagaimana kita bisa tetap berpegang pada identitas diri agar tidak kehilangan jati diri sebagai manusia. Manusia, yang tidak akan ada jika bumi ini tidak tersedia untuk tempat kita tinggal.
Rasanya, saat itu juga saya ingin memeluk oom Jostein karena sudah memberi pencerahan di hari yang luar biasa cerah itu :D
Semoga, kelak akan ada dari Indonesia yang meraih Sophie Prize yaa!
***
Misi pertama sukses!
Selanjutnya, Jostein Gaarder memberikan sesi tanda tangan di area Polar Norway Exhibition.
Saatnya menjalankan misi ke-2. Hari itu saya membawa Bibbi Bokken untuk ditandatangani. Sebenarnya di sana Times Bookstore membuka stand dan menjual beberapa buku yang belum saya miliki, sayangnya saya tidak membawa uang *tepok jidat tiga kali. Jadi, cukuplah Bibbi Bokken saja.
Bibbi Bokken sayapun ga mau kalah ikut bertanda tangan :D
Saya adalah orang ke-3 di barisan antrian yang segera mengular di belakang saya. Daan.. akhirnyaaa bisa berfoto bareng oom Jostein..! Yaaaay!! Makasiih yaa oom, dan makasiiih banget sama yang ngantri di belakang saya yang udah bersedia motoin *pelukcium
Keseluruhan pengalaman itu rasanya seperti mimpi. Saya benar-benar menikmatinya. Kapan-kapan datang lagi ya oom Jostein! Nanti saya traktir coke deh :D
Pertama-tama ijinkan saya membuka posting ini dengan “Gyaaaa~!!” :D
Ya, bukan sulap bukan sihir, Jostein Gaarder memang hadir di Jakarta. Dan saya, sebagai penggemar Dunia Sophie ga mungkin rela melewatkan kesempatan bertemu beliau.
Dunia Sophie sudah bertengger di posisi atas daftar buku terfavorit saya selama.. hmm.. berapa tahun ya..? 10 tahun? Kurang-lebih. Yang jelas, buku ini, biarpun setelahnya saya membaca berbagai buku yang tak kalah menawan tapi tetap bisa bertahan sebagai jawara di hati saya. Bukan hanya karena pelajaran filsafatnya, tapi terutama karena kejutan luar biasa tentang kebenaran identitas Sophie sang tokoh utama!
Saya masih ingat ketika itu membaca Dunia Sophie di tempat tidur (jangan ditiru ya adik-adik :p), ketika sampai di bagian penyibakan siapa Sophie sebenarnya, saya langsung ternganga, lalu tertawa terbahak-bahak seraya melempar buku itu (ke ranjang kok melemparnya, saya kan sayang buku :D). Saya berkata, “Ini sinting!” Saya belum pernah dipermainkan oleh cerita begitu rupa selain oleh Dunia Sophie, dan karenanya saya penasaran siapakah yang menulis buku sesinting itu :D
Dan, hari Selasa dan Rabu 11-12 Oktober lalu saya, akhirnya, memuaskan rasa penasaran itu! Jostein Gaarder hadir di Jakarta; Selasa di Gramedia Matraman dan pada hari Rabu-nya di Perpustakaan UI Depok untuk memberikan kuliah umum.
Perasaan saya ketika pertama kali melihat beliau benar-benar tak terkatakan. Ini dia orangnya! Ini dia, yang telah mempermainkan saya dengan Dunia Sophie-nya!! :D
Jostein Gaarder, pria kelahiran Oslo, Norwegia 8 Agustus 1952 itu hadir di lantai 1 Gramedia Matraman Jakarta sekitar pukul 12 siang. Bertubuh tinggi besar, saya pikir suara beliau akan berat tetapi ternyata suara dan gaya bicara beliau terdengar ringan dan lincah, segera mengingatkan saya pada Pak BJ Habibie :)
Dalam acara yang dipadati fans Jostein Gaarder tersebut, beliau mengungkapkan beberapa hal..
Tentang anak-anak dan filsafat
Jostein banyak menjadikan anak-anak sebagai tokoh utama ceritanya, meskipun cerita tersebut cukup “berat” dan mengandung banyak mengandung filsafat. Menurut beliau, anak-anak selalu terpesona pada apapun, sedang orang dewasa mudah terbiasa pada semua hal.
Jostein mengambil contoh dongeng HC Andersen yang berjudul The Emperor’s New Clothes (Baju Baru Kaisar) dimana seorang raja memamerkan baju barunya yang luar biasa yang hanya bisa dilihat oleh orang pandai. Tak seorang pun tidak merasa heran dan justru ikut memuji pakaian sang raja karena tidak mau dianggap bodoh karena tidak bisa melihat baju sang raja. Dan seorang anaklah yang dengan heran dan jujur berkata, “ Dia telanjang!”
Jostein Gaarder juga mengungkapkan bahwa sejak kecil sudah merasa bahwa ia merupakan bagian dari misteri, dari sesuatu yang lebih besar.
Tentang karya favoritnya
Jostein mengatakan, meski sulit untuk memilih karena ia menyukai semua karyanya seperti seorang ayah mencintai semua anak-anaknya, ia menyebut The Solitaire Mystery (Misteri Soliter) dan The Ringmaster’s Daughter (Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Mimpi) sebagai tulisan favoritnya. Jostein juga mengaku sangat menyukai Cecilia - tokoh anak perempuan dalam Through the Glass, Darkly yang sangat melekat di hatinya seakan-akan ia putrinya sendiri. (Jostein tidak mempunyai anak perempuan, beliau hanya memiliki anak laki-laki)
Tentang buku, cerita dan surat
Menurut Jostein, informasi apapun jika disampaikan dalam bentuk cerita akan lebih mudah diingat dan melekat lebih lama dalam memori kita.
Dalam novel-novelnya Jostein banyak bercerita melalui surat. Mengapa surat? Karena ia ingin menceritakan sebuah kisah, dan juga kisah di luar kisah tersebut. Seperti halnya ketika seseorang menceritakan tentang mimpi yang dialaminya, maka informasi yang kita dapatkan bukan hanya tentang mimpi tersebut tetapi juga mengenai orang yang mengalami mimpi itu. Di balik sebuah kisah yang diceritakan di dalam surat, terdapat keberadaan sang penulis. Dari sebuah surat, kita bisa mendapatkan identitas sang penulis sekaligus cerita di balik surat tersebut.
Ketika menulis Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, yang ditulisnya atas permintaan untuk membuat buku tentang buku, Jostein menulis bersama Klaus Hagerup. Dalam proses penulisannya, Jostein dan Klaus bertukar materi penulisan melalui fax, sehingga nyaris seperti kedua tokoh dalam buku tersebut yang saling bertukar buku surat.
Jostein mengagumi betapa teknologi telah begitu maju. Kini tak perlu lagi repot bertukar tulisan melalui fax, sudah ada email. Jostein juga menyinggung tentang The Castle of The Pyrenees di mana tokoh utamanya saling berkirim email, bentuk lain dari surat-menyurat.
Tentang Dunia Sophie
Jostein menceritakan bahwa Dunia Sophie ditulisnya tanpa ekspektasi apapun. Jostein bahkan mengira buku tersebut tidak akan laku sampai-sampai beliau berkata pada sang istri, “ Aku sedang menulis buku yang tidak akan menghasilkan uang” yang serta-merta dijawab oleh istrinya, “Kalau begitu, cepat selesaikan!” :p
Seandainya tahu bahwa buku tersebut akan sangat laku dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, bahkan India, Indonesia, Jostein akan memasukkan lebih banyak lagi ke dalam buku tersebut termasuk di dalamnya filsafat India, Muslim, Sufi, dan lain-lain.
Tentang Sophie, wanita dan filsafat
Tak pelak Dunia Sophie adalah karya Jostein yang paling identik dengan filsafat, meski filsafat banyak juga dimasukkan ke dalam buku-buku beliau yang lain. Lantas, mengapa Jostein memilih karakter Sophie – seorang anak perempuan – sebagai karakter utama dalam novel filsafatnya?
Mengenai ini Jostein menjelaskan bahwa karakter dalam novel filsafatnya haruslah wanita, ‘Sophie’ diambil dari bahasa Yunani yang memiliki arti kebijaksanaan, sedang filsafat adalah upaya untuk mencapai kebijaksanaan. Dalam tata bahasa barat, kata “wisdom” merupakan jenis kata feminin (dalam beberapa bahasa di Eropa, kata sering dibedakan dalam kelompok kata feminin dan maskulin)
Menurutnya sangat wajar wanita diidentikkan dengan filsafat dan kebijaksanaan karena wanita memiliki kebutuhan untuk mengerti, sementara laki-laki lebih ingin dimengerti.
Lantas mengapa filsuf kebanyakan laki-laki? Jostein mengemukakan teorinya bahwa dahulu wanita tidak mendapat kebebasan untuk menuntut ilmu, dan sesungguhnya ada filsuf wanita tetapi kurang dikenal.
Tentang filsafat dan teori filsafat yang paling disukai
Ini serupa dengan pertanyaan “siapa filsuf favorit saya” katanya. Bagi Jostein sangat sulit untuk menjawabnya karena setiap filsuf membahas hal-hal yang unik dan berbeda, dan teori mereka masing-masing sangatlah menarik dan menggambarkan keadaan sejarah suatu masa tertentu.
Lebih jauh mengenai filsafat, menurut Jostein, filsafat terdiri atas pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, beberapa pertanyaan filsuf sudah dapat dijawab. Seperti misalnya seperti apa dunia ini, ada apa di balik bulan, cara kerja tubuh manusia, dan lain sebagainya.. Meski demikian, selalu ada misteri lain untuk dipecahkan, sehingga semakin kita mengerti semakin pula kita mengerti bahwa banyak hal yang belum kita mengerti. Namun ada juga pertanyaan-pertanyaan yang masih akan terus kita cari jawabannya seperti “apa itu cinta?”, “apa itu keadilan?” Pertanyaan semacam ini tidak memiliki jawaban pasti. Kita akan selalu menanyakan pertanyaan ini lagi dan lagi.
Agama, menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis. Pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah Tuhan itu ada?”, “apakah ada kehidupan sesudah mati?” dapat dijawab oleh agama. Karenanya tidak ada pertentangan antara filsafat dengan agama.
Tentang Sophie Prize
Di luar dugaan, Dunia Sophie menjadi buku yang sangat laris dan menghasilkan sangat banyak uang. Dari sana Jostein dan istrinya – Siri Dannevig – mencanangkan Sophie Prize sebagai penghargaan terhadap organisasi/penelitian/perorangan yang berperan dalam kelestarian lingkungan, karena keduanya sangat peduli pada alam dan lingkungan.
Tentang Filsafat dan Lingkungan
Sudah pasti ini menjadi pertanyaan selanjutnya. Jawab Jostein, bagaimana kita dapat menjaga kelestarian alam ini merupakan pertanyaan paling filosofis saat ini. Dan jika ia menulis Dunia Sophie saat ini, ia pun akan banyak memasukkan tentang lingkungan. Menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab global, tapi tanggung jawab kosmik.
Terakhir, Jostein menyatakan bahwa setiap kita lahir dengan rasa penasaran, keingintahuan. Pada dasarnya semua orang lahir sebagai filsuf. Sayangnya, seiring usia, kita menjadi terbiasa akan segala sesuatu. Bagi manusia dewasa, dibutuhkan stimulan luar biasa untuk membangkitkan keterpanaan, seperti obat-obatan, hantu, alien... Bagi Jostein, tidak dibutuhkan alien untuk membuatnya terpesona, karena dirinya sendiri adalah alien, yang hingga kini setiap kali terbangun di pagi hari masih terpana dan bertanya, "Siapa saya?"
"I'm still amazed!" ujarnya mengakhiri perbincangan.
***
Fiuh, apa kalian masih bersama saya? :D Ya, hanya satu jam saja pertemuan kami, tapi kalau diceritakan ternyata panjang juga ya... haha... ini sih karena saya yang ga bisa berhenti aja :p
Oya, tentu saja, setelah sesi bincang-bincang, ada sesi tanda tangan. Saya membawa Dunia Sophie dan Gadis Jeruk – keduanya Gold Edition terbitan Mizan (sayangnya saya gagal menemukan koleksi lama saya huhuhu) – untuk ditandatangani. Plus 2 titipan dari Mas Tanzil dan Fanda. Keduanya blogger buku yang aktif, sayang sekali karena lokasi di Bandung dan Surabaya tidak memungkinkan mereka untuk datang. Aah sayang sekali ya, padahal bisa ketemuan :)
Isi tas saya siang itu :D
Yaay Dunia Sophie & Gadis Jeruk sudah ditandatangani oom Jostein!!
Di acara tersebut saya juga bertemu dengan admin @bukunya, yang di bulan Agustus lalu mengadakan kuis #GaarderFest di mana saya memenangkan Bibbi Bokken :D
Kemudian acara pun selesai... Lalu saya memandangi punggung oom Jostein dengan sedih ketika beliau melangkah meninggalkan area sudut lantai 1. Bertemu sudah, tanya-jawab sudah, tanda tangan sudah. Tapi, masih ada sesuatu yang kurang. Ada yang belum saya mengerti dengan jelas, seperti ada sesuatu yang hilang yang membuat saya masih belum memahami hubungan antara Dunia Sophie – filsafat – Lingkungan. Demi mencari mata rantai yang hilang inilah, saya bertekad untuk berpetualang mengejar Jostein Gaarder ke Depok esok harinya. Tambahan lagi, saya kan belum sempat foto bareng beliau :D
Bagaimana ceritanya? Apakah misteri terpecahkan setelah menempuh jalan berliku dari Kalimalang ke Depok? :D Ditunggu ya teman..! Besok atau lusa mampir lagi ke sini yaaa.. ;)
***
Sedikit oleh-oleh untuk yang ga bisa datang ke acara jumpa dengan Jostein Gaarder, ini ada secuil video :D Saya menontonnya berkali-kali :p semoga mengobati rindu pada oom Jostein.
PS: Buat yang belum baca Dunia Sophie, sebaiknya berhenti di menit 13:45, karena ada spoiler sesudahnya!!